Mohon tunggu...
Hibatullah Maajid
Hibatullah Maajid Mohon Tunggu... Lainnya - Nulis artikel

Selangkah lebih baik daripada seribu angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dampak Hukum dari Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Prosedur Pelaporannya

13 Januari 2024   08:30 Diperbarui: 13 Januari 2024   08:31 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi fokus perhatian pemerintah yang tercermin dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 5 UU tersebut mengidentifikasi KDRT sebagai kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran dalam rumah tangga. Tujuan utama UU ini adalah memberikan perlindungan maksimal kepada korban KDRT, khususnya perempuan yang lebih rentan menjadi korban di lingkungan rumah tangga.

UU KDRT memberikan terobosan hukum positif dengan mengakui bahwa masalah pribadi dapat menjadi isu publik. Sebelumnya, kasus KDRT sulit diselesaikan secara hukum karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengakui KDRT. Kasus-kasus ini sering kali terlupakan karena sulit memenuhi unsur pembuktian dalam pasal-pasal penganiayaan KUHP.

Saat ini, terjadi peningkatan signifikan kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kenaikan mencapai 50% pada kasus berbasis gender pada tahun 2021. Penyelesaian masalah KDRT menjadi krusial untuk melindungi hak setiap individu.

Pelaksanaan UU KDRT didasarkan pada prinsip-prinsip seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan gender, non diskriminasi, dan perlindungan korban. Konsekuensi hukum dari tindak pidana KDRT mencakup berbagai hukuman, termasuk penjara dan denda, tergantung pada jenis kekerasan yang terjadi.

Selain hukuman pidana, hakim juga dapat memberlakukan pembatasan gerak dan menetapkan kewajiban konseling pada pelaku KDRT. Korban kekerasan dapat melaporkan perbuatan KDRT kepada pihak berwajib atau mendapatkan bantuan dari organisasi non-pemerintah seperti Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APK) Jakarta dan Mitra Perempuan.

Jika pelaporan langsung oleh korban tidak memungkinkan, keluarga dapat melaporkan atas kuasa dari korban. Pelaporan ini akan diikuti dengan visum sebagai bukti KDRT. Menurut Pasal 26 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004, korban memiliki hak untuk melaporkan KDRT, meskipun dalam beberapa kasus, keluarga dapat melakukannya atas kuasa dari korban yang enggan melaporkan sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun