Mohon tunggu...
Hibatullah Maajid
Hibatullah Maajid Mohon Tunggu... Lainnya - Nulis artikel

Selangkah lebih baik daripada seribu angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Meninjau Keabsahan Hukum Pernikahan antara Penganut Agama Berbeda di Indonesia

12 Januari 2024   07:00 Diperbarui: 12 Januari 2024   07:04 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip utama keabsahan pernikahan mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Bagi pasangan yang menikah dengan agama berbeda di luar negeri, ada batas waktu satu tahun setelah pernikahan tersebut untuk mencatatkannya di Indonesia. Terdapat empat metode yang dapat diambil oleh pasangan beda agama untuk melangsungkan pernikahan mereka.

Pernikahan antaragama menjadi sebuah fenomena yang umum di masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat meyakini keabsahan pernikahan dalam pandangan agama dan hukum hanya terjadi jika pasangan memiliki agama yang sama. Namun, pemahaman mengenai legalitas pernikahan beda agama masih kurang. Bagaimana sebenarnya status pernikahan beda agama menurut hukum Indonesia?

Menurut Kepala Litigasi Familaw Indonesia, Sendy Renia Sitohang, masih terdapat kekosongan hukum terkait pernikahan beda agama. Ini disebabkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menyatakan bahwa pernikahan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian, pernikahan hanya dianggap sah jika dilangsungkan sesuai dengan satu agama yang dipilih oleh pasangan.

Menyikapi kompleksitas birokrasi untuk membuat pernikahan beda agama sah, masyarakat cenderung memilih untuk menikah di luar negeri. Selain itu, ada praktik pernikahan beda agama yang dicatatkan sesuai dengan satu agama yang diakui. Contohnya, seseorang mungkin menikah dengan agama Islam terlebih dahulu, kemudian dengan agama Kristen, dan pencatatan resmi dilakukan sesuai dengan agama yang diakui atau disepakati.

Dalam regulasi pernikahan berdasarkan agama, terjadi konflik dengan kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Sendy menyarankan agar masyarakat tidak melibatkan diri dalam pernikahan beda agama karena dapat menimbulkan berbagai permasalahan, seperti dalam hal warisan. Selain itu, pernikahan beda agama juga dapat menyebabkan kebingungan dalam pencatatan resmi.

Meskipun demikian, himbauan tersebut sulit diterapkan karena pernikahan merupakan kebebasan individu. Oleh karena itu, Sendy menjelaskan bahwa pasangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar pernikahan beda agama dapat dicatatkan secara resmi dalam dokumen negara.

Secara prinsip, keabsahan pernikahan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Bagi pasangan yang menikah dengan agama berbeda di luar negeri, terdapat batas waktu satu tahun setelah pernikahan tersebut untuk mencatatkannya di Indonesia. Ada empat cara yang dapat ditempuh oleh pasangan beda agama agar pernikahan mereka dapat diakui secara resmi. "Meskipun memungkinkan, secara hukum Indonesia tidak mengakui pernikahan beda agama," ungkap Sendy. Bagi pasangan beda agama yang menikah di luar negeri, ada batas waktu satu tahun setelah pernikahan untuk mencatatkannya di Indonesia. Jika batas waktu ini tidak diikuti, maka pencatatan resmi melalui permohonan ke pengadilan tidak dapat dilakukan.

Dalam artikel "Bolehkah Nikah Beda Agama di Indonesia? Ini Hukumnya" di Hukum Online, Prof. Wahyono Darmabrata, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, menjelaskan empat cara populer yang digunakan pasangan beda agama untuk melangsungkan pernikahan. Pertama, meminta penetapan pengadilan. Kedua, pernikahan dilangsungkan sesuai dengan agama masing-masing. Ketiga, penundukan sementara pada salah satu hukum agama. Keempat, menikah di luar negeri.

Selain itu, putusan Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan MA No. 1400K/PDT/1986 menjelaskan bahwa Kantor Catatan Sipil pada saat itu diizinkan untuk mencatatkan pernikahan beda agama. Kasus ini melibatkan pernikahan seorang perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan. MA menyatakan bahwa dengan mengajukan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, pemohon secara efektif memilih untuk tidak melangsungkan pernikahannya sesuai dengan hukum agama Islam. Oleh karena itu, Kantor Catatan Sipil diwajibkan untuk melangsungkan dan mencatatkan pernikahan tersebut sebagai akibat dari pernikahan beda agama yang dijalani.

Dalam konteks ini, jika pasangan ingin mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, mereka dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan pernikahan tanpa memperhatikan ketentuan agama Islam. Apabila permohonan pencatatan pernikahan diterima oleh Kantor Catatan Sipil, maka pernikahan pasangan dianggap sah menurut hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun