[caption caption="beritasatu.com"][/caption] Isu terkait Pembangunan Kereta Cepat di tengah masayarakat menuai banyak konflik. Berbagai kalangan banyak yang mengkritik pembangunan tersebut. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan terkait kesiapan proyek pembangunan kereta cepat. Mulai dari segi finansial, lingkungan hidup, perijinan, bahkan digadang-gadang bahwa pembangunan kereta cepat adalah awal dari boroknya pemerintahan Jokowi.
Secara kronologis ini bermulai dari sebuah keputusan Presiden. Tiba-tiba saja muncul Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Keputusan tersebut dinilai sangat mengecewakan karena sangat mendadak dan tidak sesuai dengan Program Kerja Kabinet. Tentu banyak hal yang bisa dipertanyakan menyangkut keputusan tersebut sehingga timbul banyak respon dari rakyat hingga pejabat di pemerintahan.
Menurut Direktur Transportasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Prihartono proyek kereta cepat merupakan proyek rugi karena semua proyek transportasi massal pasti rugi. Namun tuturnya meskipun rugi secara proyek, kereta cepat akan memiliki dampak besar bagi daerah disekitarnya. Salah satu pengaruhnya adalah perkembangan PDB kota yang naik 0,6 hingga 1 persen. Dan pemerintah menargetkan pengurangan biaya transportasi logistik 19,2 persen dan 3 persennya berasal dari transportasi darat.
Tapi apakah benar jika proyek ini lebih menguntungkan masyarakat dalam hal pembangunan? Memangnya tidak ada cara lebih baik selain kereta cepat? Kita simak beberapa hal yang membuat Proyek Kereta Cepat belum layak diperjuangkan.
“MUBAZIR”
Lain lagi dengan pendapat Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas yang mengatakan bahwa pembangunan kereta cepat adalah hal yang mubazir. Menurutnya moda transportasi dari Jakarta-Bandung sudah sangat banyak. Rute proyek Jakarta- Bandung ini tidak akan menghemat waktu penumpang secara efektif jika menggunakannya. Pasalnya waktu tempuh yang ditargetkan untuk kereta cepat ini adalah 37 menit, sementara waktu yang digunakan karena kemacetan dijalan raya untuk mencapai stasiun bisa mencapai lebih dari 30 menit. Sementara jika menggunakan moda transportasi bus seperti travel akan tidak akan jauh beda waktunya. Dan dari segi biaya pun tidak jauh bahkan bisa lebih murah jika menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga secara waktu tempuh tidak ada jauh bedanya moda transportasi ini dengan transportasi yang sudah ada sebelumnya.
“Hukum Yang Timpang”
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai setidaknya ada 3 persoalan hukum yang terkait dalam proyek kereta api cepat ini. Hal tersebut diutarakan oleh seorang peneliti PSHK M. Faiz Aziz dalam siaran persnya pada 31 Januari 2015.
Pertama adalah terkait permintaan jaminan dari pihak Cina dalam hal pemberian jaminan pemerintah dan alokasi pembagian resiko terkait kereta cepat. Hal ini sangat tidak konsisten dengan komitmen awal yang dibangun saat awal persetujuan. Dan ini mencederai Peraturan Presiden no.107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Sikap inkonsistensi ini nantinya akan bisa merugikan anggaran Indonesia jika proyek ini mengalami kegagalan dalam operasionalnya.
Kedua terkait dengan permintaan hak eksklusif atau monopoli jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Monopoli jalur ini bertentangan dengan dua undang-undang sekaligus yaitu UU No.23 tentang perkeretaapian dan UU No.5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat. Aziz menambahkan bahwa pengadaan infrastruktur kereta cepat harus mengikuti aturan pada kedua undang-undang tersebut.
Persoalan ketiga adalah terkait pelaksanaan groundbreaking dan belum lengkapnya dokumen perizinan. Aktivitas groundbreaking mungkin sudah dilaksanakan tetapi masih belum dilengkapi oleh seluruh dokumen perizinan. Ada sanksi jelas terkait pelanggaran akan hal ini yang tertera pada Pasal 188 UU No. 23 Tahun 2007 yaitu penjara 6 tahun dan denda paling banyak 2 milyar.