Akhir-akhri ini situasi sosial budaya di Indonesia diwarnai oleh dua kata kunci, yaitu MAYORITAS dan MINORITAS. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, MAYORITAS diartikan sebagai jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu. Golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain itu diwakili dengan satu kata MINORITAS berdasarkan KBBI juga. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kedua kata tersebut. KBBI juga telah mengartikan dengan tepat, menurut saya. Beberapa pemahaman dan asumsi yang dibuat seputar kedua kata tersebut adalah:
- Mayoritas pasti benar, sehingga langsung diartikan bahwa minoritas selalu salah. KBBI tidak pernah mengartikan secara demikian. KBBI hanya mengartikan cara mengidentifikasi kelompok yang disebut mayoritas tanpa menyebutkan konsekuensi dari kata tersebut. Jika ada satu orang gila berada di tengah-tengah seratus orang waras, maka jelaslah bahwa 100 orang waras yang mayoritas ini adalah golongan yang benar. Namun, jika ada satu orang waras di antara seratus orang gila, maka kita tahu bahwa satu orang tadi adalah golongan yang benar walaupun dia termasuk minoritas. Dalam ilustrasi tersebut di atas, batas antara gila dan waras masih dapat dilihat dengan jelas. Bagaimana dengan kelompok dengan batas yang tidak jelas? Dalam hal ini diperlukan norma yang dapat diterima oleh kedua pihak.Â
- Mayoritas harus dibela, sehingga muncul asumsi bahwa minoritas terkait dengan pihak yang harus mengalah. KBBI, yang menyediakan arti kedua kata tersebut, tidak memberikan penjelasan bahwa mayoritas adalah golongan yang harus dibela. KBBI juga tidak pernah memberikan penjelasan bahwa minoritas adalah pihak yang harus mengalah karena jumlahnya sedikit. Bukankah pihak mana yang harus dibela harus juga ditentukan berdasarkan norma yang diterima oleh kedua pihak?
- Mayoritas diasumsikan sebagai golongan yang harus diikuti kemauannya, sehingga minoritas adalah pihak yang sepertinya tidak punya hak sama sekali. Oleh karna jumlahnya yang banyak, maka mayoritas beranggapan bahwa kepentingannya harus diakomodasi, karena yang diakomodasi adalah kepentingan orang banyak (walaupun bukan semua orang). Asumsi ini mengakibatkan mayoritas tidak menghormati hak minoritas.
Polaritas mayoritas-minoritas merupakan hal yang dipertahankan demi kepentingan kelompok tertentu, biasanya (baca: tidak selalu) mayoritas. Berbagai macam usaha dilakukan untuk melanggengkan polaritas tersebut. Dalam koridor NKRI dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kelompok yang memelihara polaritas ini merupakan kelompok yang ingin mengganti dasar negara Indonesia dengan yang lain. Mengganti dasar negara berarti membubarkan negara yang telah berdiri tersebut.
Dalam pemahaman saya (yang bisa jadi berbeda dengan orang lain), negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Prinsip negara berdasarkan Pancasila melindungi semua lapisan masyarakat tanpa embel-embel mayoritas minoritas.
Polaritas kedua kutub ini menjadi sebuah isu yang rawan dan enak digoreng, Ditambah dengan situasi sosial masyarakat kita yang mudah dihasut dan diprovokasi, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab telah berkali-kali memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka, Maraknya media sosial turut mewarnai provokoasi yang tidak bertanggung jawab ini. Apalagi, banyak orang masih percaya bahwa semua berita di internet itu benar dan layak dipercaya. Ini yang menjadi PR besar pemerintah untuk mendidik rakyatnya untuk tidak langsung percaya pada berita di internet.
Polaritas ini, apabila dikembangkan lebih jauh lagi, akan berujung pada TOLERANSI dan INTOLERANSI. Pihak mayoritas merasa dirinya sebagai kelompok yang besar yang harus diterima oleh pihak minoritas sehingga memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan hak orang lain sehingga muncullah intoleransi.Â
Dalam perenungan saya, sikap intoleransi ini justru muncul saat mayoritas merasa terancam atau ketakutan. Perasaan inilah yang membuat sikap dan tindakan kelompok mayoritas menjadi intoleran dengan kelompok minoritas. Ketakutan terbesar kaum mayoritas adalah hilangnya hak sebagai kaum mayoritas yang harus selalu diikuti kemauannya. Hal ini merupakan ketakutan yang semu karena negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melindungi hak semua kelompok tanpa pandang bulu.
Masih segar dalam ingatan saya, saat masih duduk di bangku sekolah dan belajar tentang Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebuah pelajaran wajib yang sarat dengan ilmu untuk hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda dan sistem pemerintahan di Indonesia. Sebenarnya, PMP berisikan materi yang baik, hanya saja tidak berhasil dibawa ke dunia nyata. Materi PMP tidak pernah membicarakan hak mayoritas dan kewajiban minoritas. Materi PMP selalu mengajarkan prinsip kesetaraan hak dan kewajiban bagi kedua golongan. Lalu, mengapa seolah materi tersebut menguap tak berbekas dalam kehidupan masyarakat?
Jawabannya sederhana: materi tersebut hanya sebatas teori yang tidak pernah dilaksanakan. Ini menjadi PR terbesar pemerintah Indonesia sampai kapan pun sehingga tidak bisa langsung membebankan hal ini kepada pemerintah yang sekarang.Â
Kelompok-kelompok yang masih suka memaksakan kehendaknya karena merasa mayoritas hendaknya perlu mempelajari lagi Pancasila dan UUD 1945 dengan sungguh-sungguh. Bukankah Pancasila dan UUD 1945 tidak mengenal mayoritas dan minoritas? Jika demikian, pasti ada pihak luar yang menghembuskan isu ini untuk menghancurkan Indonesia.
Selama masyarakat kita masih belum terdidik dan dewasa dalam berpikir, maka para penggoreng isu ini akan dengan mudah menjual gorengannya, semudah orang menjual tempe, tahu, dan pisang goreng. Lebih celaka lagi, para penggoreng isu ini malah berusaha agar masyarakat kita tidak bisa berpikir maju dan tetap terkungkung dengan pola pikir yang terpolarisasi itu. Saya mengajak para kompasianer untuk bergandeng tangan mendidik masyarakat kita untuk lebih maju.
Salam PERSATUAN INDONESIA!