Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyemai Lahan SUBUR Budi Pekerti LUHUR?

26 Juli 2015   14:58 Diperbarui: 26 Juli 2015   15:11 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini mata saya terpancing dengan headline Jawa Pos ( lihat gambar). Ini sebuah ide yang menarik tetapi sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri. 

Berita yg dikemas dalam bentuk wawancara ini memuat pertanyaan tentang tantangan terberat program yg dicanangkan tetsebut. Apa yang disampaikan oleh Anies R. Baswedan memang masuk akal. Beliau menyatakan bahwa tantangan terbesar adalah menjadikan guru dan kepala sekolah sebagai teladan bagi siswa. Namun, sepertinya bukan ini tantangan yang terbesar. Ada tantangan yg lebih besar lagi yg menghadang program ini.

Siswa tidak tinggal di sekolah sampai ia lulus. Bahkan, waktu di sekolah bisa dibilang kecil dibandingkan dengan waktu di luar sekolah. Hal ini berarti, kehadiran guru dan kepala sekolah juga tidak dapat diandalkan. Malahan, teladan dari orang di sekitar siswa saat di luar sekolah memberikan pengaruh yang lebih kuat.

Pertama, pada saat siswa melihat orang tuanys berlaku tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya di sekolah, siswa tersebut akan mengalami konflik bstin yang hebat. Konflik ini berujung pada, sedikitnya, dua hal, siswa akan berkomentar terkait apa yang dilihatnya dan siswa memendam pertanyaan tentang perbedaan itu dalam hatinya.

Respon orang tua saat anaknya berkomentar juga beragam. Paling tidak ada dua, yaitu menyetujui komentar anak lalu meminta maaf karena telah melakukan hal tidak pantas. Respon lain adalah menganggapnya angin lalu yg diikuti dengan penjelasan yang berusaha membenarkan diri sendiri. 

Betapa bahagianya menjadi anak yang memiliki orang tua yang memberikan respon yang pertama. Apa yang telah diperoleh di sekolah telah ditunjukkan oleh orang tuanya. Apa yang didapat di sekolah sesuai dengan apa yang dilihat dan dialaminya.

Sebaiknya, anak yang memiliki orang tua model yang kedua akan mengalami konflik antara percaya kepada orang tuanya atau kepada gurunya. Jika konflik ini tidak diselesaikan, bisa dipastikan bahwa program yang baik ini akan sia-sia. Ini menjadi sebuah batu besar yang menghadang kesuksesan program ini.

Beranjak ke lingkup yang lebih besar adalah saat anak mengamati sepak terjang orang-orang di sekitarnya. Budaya antri yg mulai luntur menjamur dimana-mana. Pengendara di jalan tidak mematuhi aturan lalu lintas. Berita korupsi dan suap mewarnai berita nasional. Bukankah ini juga tantangan yang besar?

Sangat mudah bagi kemendikbud untuk mengendalikan para guru dan kepala sekolah. Namun kementerian ini tidak memiliki wewenang sama sekali terhadap orang tua/wali dan masyarakat luas. Ini adalah batu sandungan yang harus diatasi atau mungkin gunung tertinggi yang harus ditaklukkan.

Di era yang semakin sehat ini, kemendikbud bisa bekerja sama dengan kementerian yang lain. Membangun moral bangsa bukanlah tugas kementerian yang berhubungan dengan pendidikan saja. Setiap kementerian yang tetkait perlu memberikan tangannya untuk generasi yang lebih baik.

Saya menaruh harapan yang tinggi, bahwa program ini akan mendapat dukingan dari kementerian yang terkait sehingga bangsa Indonesia akan memiliki generasi yang selalu lebih baik dari pendahulunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun