Dikutip dari kompas.com, Menaker M. Hanif Dhakiri mengatakan bahwa lulusan perguruan tinggi harus punya kemampuan kerja. Saya sangat setuju! Sebuah logika yang masuk akal. Namun, pernyataan ini menyimpan beberapa makna tersembunyi yang perlu dikuak lebih dalam supaya masyarakat mengerti dengan baik apa yang seharusnya dilakukan untuk mendukung keinginan pak Menteri ini.
Menyebut "perguruan tinggi", sebenarnya memberikan makna yang umum. Perguruan tinggi yang mana? Di Indonesia saat ini ada banyak model perguruan tinggi: universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik, ... (mungkin ada yang kelewatan?).Â
Semuanya ini bisa dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu perguruan tinggi akademik dan perguruan tinggi vokasi. Munculnya perguruan tinggi vokasi didasarkan pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Khusus perguruan tinggi vokasi, sejak 2001 pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001 mengatur pemberian sebuah profesional untuk program vokasi.
Kedua program pendidikan tersebut memang harus bisa menghasilkan lulusan dengan kemampuan kerja. Pertanyaannya adalah kemampuan kerja yang seperti apa? Bagi sebagian besar masyarakat, bekerja sebagai peneliti atau dosen dianggap tidak termasuk dalam jenis pekerjaan yang dimaksud oleh pak Menteri.Â
Sebuah ironi..., tetapi inilah kenyataan yang berkembang di masyarakat. Apalagi dengan iklim penelitian yang masih kurang berkembang seperti di negara maju, posisi sebagai peneliti di Indonesia masih jauh dari harapan. Jadi, fokus masyarakat (yang mungkin juga fokus pak Menteri), adalah jenis pekerjaan di luar dosen dan peneliti dan ini tidak dinyatakan dengan jelas sehingga bisa menimbulkan salah tafsir.
Melihat kondisi ini, kita bisa membagi jenis pekerjaan menjadi 2 bagian besar juga, yaitu peneliti/dosen dan yang lainnya (karena kelompok ini cukup besar dan bervariasi). Sebenarnya, hal ini sudah tercermin dalam model pendidikan Indonesia yang menekankan pada sisi akademis dan vokasi. Sisi akademis lebih diarahkan menjadi peneliti/dosen, sedang yang lain diarahkan pada jenis pekerjaan yang lain. Pas! Lalu apa yang salah?
Problemnya adalah masyarakat lebih menyukai model pendidikan dengan "gelar" yang jelas, dalam hal ini gelar akademik seperti ST, SE, SSi, SSos, dll, yang hanya boleh dilakukan oleh univesitas, institut, dan sekolah tinggi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001. Lulusan perguruan tinggi vokasi tidak mendapatkan gelar akademik, tetapi sebutan profesional, yaitu SST (Sarjana Sains Terapan) untuk lulusan program D4 (jenjang tertinggi).
Masyarakat Indonesia bisa dibilang "gila gelar", mohon maaf. Padahal gelar hanya sebuah tempelan yang menunjukkan pencapaian tertentu dan sebenarnya  setiap orang bisa meraih pencapaian yang berbeda tanpa harus memajang gelar dalam sebuah showroom. Kasus ijasah palsu dan program pendidikan abal-abal menjadi bukti akan hal ini, sehingga lulusan perguruan tinggi luar negeri yang ingin menjadi dosen harus melakukan "penyetaraan ijasah".
Oleh karena kegilaan terhadap gelar ini, banyak orang tidak mau kuliah di perguruan tinggi vokasi karena kalau lulus "cuma" dapat sebutan profesional, bukan gelar yang dapat ditaruh di showroom tadi. Akibatnya peminat ke perguruan tinggi akademik membludak sedangkan perguruan tinggi vokasi akan sepi.Â
Hal ini baru awal dari efek bola salju, karena perguruan tinggi akademik yang sejatinya mencetak para peneliti dan dosen sekarang harus menangani mahasiswa yang tidak punya keinginan untuk menjadi peneliti dan dosen. Kurikulum yang dirancang tidak cocok dengan jenis mahasiswa yang terakhir ini. Lalu, muncullah berbagai dampak seperti wkatu kuliah yang lama, jumlah mahasiswa yang drop out meningkat, dosen pengajar pusing memikirkan kelulusan kelasnya, dst.
Tidak berhenti sampai di situ, sekarang ini susah membedakan perguruan tinggi akademik dengan perguruan tinggi vokasi. Keduanya mengajarkan kuliah dengan isi dan metode yang sama. Bukankah mahasiswa perguruan tinggi akademik seharusnya disiapkan untuk menjadi peneliti sehingga beban untuk hal ini menjadi besar? Bukankah mahasiswa perguruan tinggi vokasi selayaknya disiapkan untuk bekerja sebagai profesional di luar peneliti dan dosen sehingga harus lebih banyak diberi kemampuan praktis? Bukankah kedua program tersebut seharusnya bermuara di tempat yang berbeda?