Hampir semua kita mengenal apa itu statistik. Sebuah ilmu yang digunakan untuk menganalisis data. Dalam bahasa yang lebih keren, orang mengatakan bahwa statistik adalah ilmu untuk menangani ketidakpastian. Ketidakpastian dalam apa? Misalnya, pengukuran suhu sebuah daerah menghasilkan data yang fluktuatif (baca: naik-turun). Bagaimana seseorang mengatakan suhu di daerah tersebut? Tidak mungkin suhu tertinggi yang akan dilaporkan karena itu berarti data yang disampaikan bisa tidak benar kalau suhu tertinggi terjadi hanya dalam beberapa menit, sama halnya dengan suhu terendah.Â
Melaporkan suhu yang sedang terbaca saat pertanyaan muncul, bisa juga menimbulkan salah tafsir terhadap data yang disampaikan. Lalu bagaimana solusinya? Orang menggunakan statistik, yang salah satunya adalah menghitung rata-rata. Dengan demikian data yang fluktuatif dapat diwakili dengan satu atau beberapa angka. Memang rata-rata saja tidaklah cukup sehingga diperlukan beberapa perhitungan yang lain untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap, misalnya simpangan baku (baca: standar deviasi).Â
Cara pengolahan data dengan statistik juga tergantung dari perilaku datanya. Data dengan histogram yang simetris pasti diolah berbeda dengan data yang histogramnya skew. Pendek kata, teori statistik ini terus berkembang karena apa yang sudah ada sekarang ini belum bisa mewakili ketidakpastian data yang ada.
Statistik juga digunakan dalam quick count. Jadi lembaga yang mengadakan quick count ini akan mengumpulkan data dari beberapa titik untuk dianalisis dan menghasilkan hasil rekapitulasi pilkada walaupun KPU belum merilis hasil akhirnya. Ini bukan sulap bukan sihir.
Metode yang benar bisa menghasilkan hitungan yang mendekati kenyataan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat keyakinan atau margin error yang diinformasikan bersamaan dengan hasil quick count. Wah... koq jadi melebar ke ilmunya ya! Sudahlah, kita balik lagi ke urusan statistik yang analisisnya dibuat tergantung pesanan itu!
Selain terkait dengan karakteristik data, ada hal lain yang bisa mempengaruhi cara analisisnya. Pemesan hasil analisis juga berpengaruh terhadap cara statisitk mengolah dan menginterpretasikan data. Pernah nonton film Erin Brokovich? Dalam film ini, statisitk memegang peranan yang sangat penting. Analisis statistik menurut perusahaan tidak menunjukkan sesuatu yang berbahaya, sedangkan analisis yang lain menunjukkan bahwa ada yang tidak beres.
Beberapa orang berpendapat bahwa statistik bisa dipakai untuk berbohong. Hmmmm menarik untuk dianalisis nih... Ilmunya memang tidak berbohong, tetapi cara dan hasil analisisnya bisa digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan. Tentu saja bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa para ahli statistik adalah tukang bohong. Sekali lagi, cara menginterpretasikannya bisa digunakan oleh yang tidak bertanggung jawab.
Kontestasi Pilkada DKI 2017 juga tidak lepas dari sudut pandang ini. Anies Baswedan dalam live event yang diselenggarakan Metro TV mengatakan bahwa hasil quick count memberikan pesan kepada kita semua: Jakarta membutuhkan pemimpin yang baru. Keesokan harinya, Ahok, dalam Mata Najwa, mengatakan bahwa 60% orang jakarta tidak suka dengan Anies. Nah, mana yang benar? Silakan diperiksa di https://www.youtube.com/watch?v=ROd9hct3nYg
Saya tidak tahu mana yang benar. Biarlah pilkada DKI putara 2 nanti yang membuktikannya. Saya hanya tertarik dengan kesimpulan yang dibuat berdasarkan data yang sama persis. Menakjubkan! Data yang sama persis bisa menghasilkan, paling tidak, dua kesimpulan yang berbeda. Apakah statistiknya salah? Tidak! Statistik tidak pernah salah. Kesalahan ada di operator yang menggunakan statistik itu.
Sah-sah saja buat Anies Baswedan untuk mengatakan bahwa hasil quick count memberikan informasi keinginan warga Jakarta akan pemimpin baru karena perolehan suara Ahok tidak mencapai 50%. Hampir 60% pemilih menetapkan pilihan pada paslon 1 dan 3. Kalau Ahok mendapatkan 50% suara, maka Anies tidak bisa memberikan klaim yang sama. Masuk akal bukan!!
Sebaliknya, pernyataan Ahok bahwa 60% lebih warga Jakarta tidak menyukai Anies juga tidak bisa disalahkan. Perolehan suara Anies yang berkisar 39% memang bisa diartikan bahwa hanya 39% warga Jakarta yang suka dengan Anies dan sisanya dianggap tidak suka dan memilih calon yang lain. Boleh juga kan!!