Pagi ini saya membaca tulisan Prof. Pitoyo Hartono, dosen dan peneliti di Chukyo University, Jepang. Beliau berujar, bahwa konsep 'mengerti' dalam belajar diartikan terlalu dangkal. Yah... kalau bicara tentang taksonomi Bloom tentang tahapan belajar, bisa 'mengerti' bukanlah tingkat yang tertinggi. Namun, tulisan yang dipublikasikan 15 Juni 2021 tersebut telah menggugah saya untuk menuliskan artikel ini.Â
Poin pertama yang menggelitik saya adalah otokritik. Banyak orang Indonesia belajar dan merasa mengerti, lalu berhenti sampai di situ. Oleh karena beliau berlatar belakang teknik, maka contoh yang digunakan adalah formulasi matematika yang sering muncul dalam berbagai tulisan ilmiah. Buta tentang konsep dasar matematika untuk mereka yang belajar di bidang teknik dianalogikan dengan buta huruf pada merkea yang belajar kesusasteraan.
Saya teringat dengan konsep analisa kestabilan Bode yang banyak dibicarakan dalam dunia sistem kendali. Formulasinya menggunakan sudut 180 derajad. Hm... jika Anda belum pernah tahu tentang diagram Bode tidak masalah... Ini hanya sebuah contoh. Pernah suatu saat ada mahasiswa yang bertanya mengapa rumusnya demikian. Jawaban umum yang diberikan dosen adalah 'sudahlah.... terima saja karena memang demikian formulasinya'. Celakanya, mahasiswa yang bertanya sudah cukup puas dengan jawaban tesebut, sehingga dosen merasa sudah menjawabnya.Â
Masih dalam dunia sistem kendali, transformasi Laplace menggunakan konsep bahwa pole yang berada di sebelah kiri menunjukkan kestabilan sistem. Ketika ada mahasiswa yang bertanya, dosen dengan enteng menjawab bahwa itu sudah diformulasukan, sehingga terima saja. Ups! Ini bukan jawaban yang seharusnya diberikan...
Dalam hal otokritik ini, kita belum (mungkin jarang) bertanya kepada diri sendiri seberapa besar pengertian kita terhadap apa yang telah kita pelajari atau baca. Banyak orang sudah merasa puas dengan mengerti bagian kulitnya. Saya bisa menerima bahwa tidak semua bagian harus dimengerti jika itu berada agak di luar bidang kita.Â
Poin kedua adalah masalah sistem pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia memang banyak menerapkan konsep hafalan. Saya pernah berdebat dengan seorang pejabat di sebuah program studi terkait dengan pembatasan tipe kalkulator yang boleh digunakan dalam ujian. Hal ini terjadi karena sebagai asisten matkul Fisika, saya tidak melihat ada sesuatu yang relevan dengan aturan tersebut.Â
Dalam pembicaraan tersebut, akhirnya saya mengetahui alasan di balik aturan yang dibuat Program studi khawatir mahasiswa memasukkan teks dan rrumus dalam kalkulator sehingga dipakai untuk menyontek.Â
Tanggapan saya sederhana, kalau begitu, dosennya harus dilatih untuk membuat soal yang tidak mengandalkan hafalan. Selain itu, rumus bukanlah sesautu yang harus dihafal juga koq. Namun, aturan tetaplah aturan dan saya tidak bisa berbuat apa.
Model hafalan ini membuat mahasiswa sudah cukup puas ketika sudah hafal dan meraih nilai tinggi. Ketika ujian berakhir, maka berakhir pulalah semua hafalan yang ada di otak. Masuk semester yang baru, berarti mengawali semuanya serba baru, bahkan tanpa bekas ilmu yang telah dipelajari di semester-semester sebelumnya.Â
Saya banyak menemui mahasiswa yang seperti ini, bahkan ada dosen yang 'memaklumi' situasi ini sehingga meminta saya untuk tidak menuntut lebih tinggi. Maksud saya, mereka, yang meraih nilai tinggi untuk matkul tertentu di semester lalu dan digunakan sebagai pra syarat matkul yang lain, tidak harus ingat semua yang pernah dipelajari, tetapi selentingan kecil akan membuat mereka ingat lagi. Hal ini jelas hanya bisa terjadi jika cara belajarnya benar.Â
Masalahnya, mahasiswa banyak belajar dari contoh soal; soal yang diberikan lengkap dengan jawabannya. Cara umum yang dipakai adalah baca soal dan jawabannya, bahan ditutup, lalu dikerjakan ulang. Apa yang terjadi? Alih-alih mengingat teori yang bisa dipakai, mereka berusaha keras untuk mengingat bagaimana si pembuat jawaban mengerjakannya ketika mengalami kebuntuan.Â
Terkait dengan otokriitik di atas, seharusnya mahasiswa bertanya kepada dirinya, apakah dia mengerti mengapa si pembuat jawaban menuliskan jawaban yang seperti itu? Jika hal ini dilakukan, maka mahasiswa akan mencari tahu teori mana yang dipakai. Masalahnya, banyak mahasiswa yang meremehkan teori dengan mengatakan teori tidak perlu dan buang-buang waktu.
Sistem pendidikan di Indonesia telah memisahkan antara pendidikan akademk (S1, S2, S3) dan vokasi (Diploma: D1, D2, D3,D4). Stigma yang beredar di masyarakat, orang yang masuk pendidikan akademik pasti lebih pandai daripada mereka yang masuk pendidikan vokasi. Akibatnya. pendidikan akademik membludak dan pendidikan vokasi kekurangan pembelajar.Â
Tidak berhenti di situ saja, mahasiswa yang masuk pendidikan akademik ini belum tentu bekerja di bidang akademis (dosen dan peneliti) dan mereka menuntut diberikan matkul dengan porsi praktek yang besar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa matematika tidak diperlukan. Hal ini membuat banyak program studi yang mulai membuang beberapa materi matematika karena dianggap tidak penting. Hal ini berdampak pada mahasiswa yang ingin berkarir menjadi peneliti, karena dasar matematikanya sangat kurang.Â
Dalam tulisan yang dipublikasi di laman facebook 14 Juni 2021, Prof. Pitoyo memiliki ide untuk mengadakan bootcamp matematika. Hal ini terjadi sebagai respon terkait dengan dasar matematika yang kurang. Bahkan beliau berujar akan menawarkan ke negara lain jika Indonesia menolaknya. Sebenarnya, ini juga bisa dijadikan dasar otokritik terhadap pendidikan kita.
Kampus, terutama PTS dan PTN kecil, bisa dibilang tidak bisa menolak mahasiswa jika masih memiliki kapasitas. Maksud saya, jika kapasitas yang ditetapkan adalah 100 dan jumlah pendaftarnya 110, maka hampir semuanya akan diterima. Akibatnya, kampus semacam ini akan menerima mahasiswa yang sebenarnya tidak sesuai kualifikasi dan bisa memberatkan proses pembelajaran.Â
Menolak mereka bukan pilihan yang bijak, karena kampus perlu mahasiswa. Ini menjadi pergumulan tersendiri buat banuyak kampus di Indonesia. Ketika mereka masuk di program studi teknik dan belajar matematika, maka bisa ditebak, betapa berat perjuangan dosen matematika untuk mengajar mereka. Saya bisa memahami situasi ini dari pengalaman sejawat saya yang telah berpulang dan dulunya juga pernah mengajar saya.
Pendekatan yang dipakai Prof. Pitoyo cukup menarik, yaitu meminta mahasiswa untuk menjelaskan dalam bahasanya sendiri terkait dengan materi yang dipelajarinya. Hal ini sejalan dengan temuan di bidang pendidikan, bahwa seseorang belajar dengan lebih baik ketika menjelaskan ke orang lain (Biggs dan Tang, 2011; Teaching for Quality Learning at University). Saya berani mengaminkan apa yang dikatakan beliau karena saya sudah membuktikannya sejak SMP, lebih dari 30 tahun yang lalu.
Sebenarnya pemerintah telah memisahkan pendidikan vokasi dan akademik untuk segmentasi pembelajaran yang lebih efektif. Namunn, hal ini masih menghadapi jalan terjal karena pola pikir masyarakat Indonesia yang belum bisa diubah. Mereka yang masuk pendidikan vokasi seharusnya dihargai sebagai tanggung jawab untuk bisa segera bekerja dan berkontribusi, bukan malah di-bully dan dianggap tidak berkualitas. Mereka yang masuk pendidikan akadmik tidak bisa mengatakan bahwa dirinya adalah orang berkualitas selama belum menghasilkan karya penelitian yang bermanfaat (bukan hanya dalam jangka pendek tetapi juga jangka panjang).
Konsep lab-life yang diutarakan oleh Prof. Pitoyo bisa diterapkan di semua bidang ilmu. Hal ini akan menguatkan proses pembelajaran sehingga para pembelajar benar-benar dilecut untuk belajar dnegan bertanggung jawab. Bagaimana kita sebagai pribadi bisa melakukannya?
Dalam dunia kampus, 1 SKS diartikan sebagai 50 (ada yang menggunakan 60) menit kuliah, 50 (ada yang menggunakan 60) menit meengerjakan tugas, dan 50 (ada yang menggunakan 60) menit belajar mandiri. Jika Anda adalah mahasiswa, sudahkah Anda mengikuti panduan tersebut? Kebanyakan mahasiswa hanya menghitung kuliahnya. Justru dua bagian di luar kuliah itulah yang bisa dimanfaaatkan sebagai lab-life untuk mencapai hasil belajar yang maksimal.
Jika Anda menyadari bahwa cara belajar Anda salah, itu sudah baik, tetapi belum cukup. Anda perlu bertindak!
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H