Hari ini saya membaca berita di laman kompas.com tentang SMA terbaik di Indonesia berdasarkan rerata UTBK. Logikanya, pasti ada yang terjelek dong! Nah, ini yang mengganggu pikiran saya.
Sekolah dianggap berkualitas dengan berbagai kriteria:
- Nilai rerata siswa tinggi
- Banyak alumninya diterima di PT berkualitas (kriteria PT berkualitas kira-kira sama dengan sekolah berkualitas)
- Memenangkan banyak piala dalam berbagai lomba
- Terakreditasi dengan peringkat A
Sekolah yang mendapat penilaian berkualitas akan diserbu banyak calon siswa dengan iming-iming mendapat label siswa berkualitas karena belajar di sekolah yang berkualitas. Dengan banyaknya peminat, maka sekolah seperti bisa memilih siswa untuk diterima. Akibatnya, 'kualitas' siswa yang masuk pun bisa dijaga. Konsekuensinya, predikat sekolah berkualitas tetap terjaga, dengan kata lain, siklusnya terjaga.
Bagaimana dengan sekolah yang dianggap tidak berkualitas? Sederhana, terima saja semua pendaftar selama masih ada tempat. Konsekuensinya, sekolah tidak mendapat siswa yang 'berkualitas' dan harapan untuk meraih rerata nilai yang tinggi, menang berbagai lomba, banyak alumninya diterima di PT berkualitas, dan meraih akreditasi A pun tinggallah mimpi. Bahkan ada satire yang mengatakan, sekolah yang dianggap tidak berkuallitas menerima 101 siswa dari 100 pendaftar.
Bahkan ada satire yang mengatakan, sekolah yang dianggap tidak berkuallitas menerima 101 siswa dari 100 pendaftar.
Pertanyaan paling penting adalah apakah semua kriteria di atas layak dipakai untuk menilai kualitas sekolah untuk menjadi sekolah terbaik? Dalam pandangan saya, kualitas di sekolah ditentutkan proses belajar yang bertanggung jawab. Nilai memang bisa menjadi salah satu kriteria, tetapi bukan satu-satunya. Masalahnya, model penilaian sekolah saat ini sangat tergantung pada nilai.
Sekolah yang terlihat berkualitas karena banyak alumninya diterima di PT terkenal, belum tentu menyediakan pendidikan yang berkualitas. Gurunya bisa jadi biasa-biasa saja dan tidak perlu ngotot dalam mengajar, sebab siswanya sudah 'baik' secara akademik. Selain itu, sudah menjadi rahasisa umum kalau banyak siswa sekolah yang demikian juga mengambil pelajaran ekstra di berbagai LBB. Hal ini menimbulkan tanda tanya, karena bisa jadi hasil belajar yang dipakai untuk mengevaluasi kualitas sekolah juga merupakan kontribusi berbagai LBB yang tidak dapat disebutkan satu per satu.Â
Jadi, apakah masih relevan mengumumkan sesuatu yang seperti ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H