Setelah ada BPJS
Kehadiran BPJS telah mengubah layanan kesehatan di Indonesia. Omongan "orang miskin tidak boleh sakit", mulai ditinggalkan karena kini semua orang bisa mendapatkan layanan kesehatan.
Beberapa anggota keluarga saya sudah mengalami pertolongan BPJS, mulai dari urusan suntik lutut yang biayanya mencapai 6 juta, hingga operasi karena kanker dan proses kemoterapinya.
Kini, negara hadir dengan lebih jelas untuk layanan kesehatan warganya. Dulu hanya sekadar menghadirkan BPOM tanpa bisa berbuat banyak.
Selain itu, saya menduga ada kontribusi dari sakit akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung zat berbahaya. Dampaknya memang tidak langsung sehingga sulit untuk ditelusuri penyebab sakit tersebut.
Bisa jadi, itu merupakan "kerja sama" antara beberapa penjual makanan (baik yang permanen, semi-permanen, maupun keliling).
BPOM jelas tidak bisa mengendalikan pedagang keliling dan semi-permanen. Untuk urusan depot dan restoran saja mereka sudah kewalahan, apalagi ditambah dengan yang lain dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Menertibkan proses perizinan para penjual makanan bukan hal yang mudah. Izin yang ketat dianggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil, tetapi izin yang longgar bisa memicu berbagai masalah.
Namun, cepat atau lambat hal ini harus diselesaikan karena kini negara memiliki instrumen BPJS yang mengelola keuangan terkait layanan kesehatan.
Belajar dari Finlandia
Oleh karena saya tinggal di Finlandia, izinkanlah saya berbagi bagaimana negara ini mengurusi penjualan makanan. Negara perlu mengatur karena layanan kesehatan di sini gratis, dalam arti warga hanya membayar biaya pendaftaran dan 60% biaya obat yang dibeli melalui resep. Jadi biaya dokter, obat yang langsung diberikan oleh RS, dan penggunaan alat kesehatan ditanggung negara.
Jika pasien menginap, maka hanya dibebani biaya menginap yang berhubungan dengan makanan dan layanan. Hal ini diberikan bahkan kepada warga asing.