PR sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan siswa, tetapi Dinas Pendidikan Kota Blitar mencoba mengubah paradigma tersebut. Sebagaimana diberitakan oleh kompas.com, Dinas Pendidikan kota Blitar menerbitkan surat edaran yang melarang guru untuk memberikan PR kepada siswa.Â
Harapannya, siswa akan punya lebih banyak waktu untuk belajar hal-hal yang berhubungan dengan karakter dan lingkungan. Perlu dicatat di sini bahwa ada sebuah harapan dari terbitnya surat edaran tersebut. Pertanyaannya adalah akankah itu tetap menjadi harapan atau menjadi sebuah kenyataan.
Saya akan memulai dari konsep cara seseorang belajar. Ada banyak cara yang dapat dipakai untuk membuat orang belajar sesuatu yang baru. Ada orang yang harus dituntun untuk menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang dihadapinya. Ada orang yang bisa belajar dari membaca dengan teliti.Â
Orang yang lain belajar dari kesalahan orang lain dan kesalahan yang dibuatnya sendiri. Sebagian lagi belajar dari mengerjakan atau melihat. Intinya, setiap orang memiliki model belajar yang bervariasi. Ini memunculkan teori gaya belajar yang (salah satunya) membaginya menjadi kinetetik (harus bergerak), visual (harus melihat), dan auditori (harus mendengar).
Seseorang bisa belajar dengan ketiga gaya tersebut, artinya pada saat yang sama ketiganya digunakan. Selain itu, untuk bidang yang berbeda, orang juga menggunakan gaya yang berbeda. Pendek kata, gaya belajar ditentukan oleh situasi. Memaksakan gaya belajar bukanlah cara yang tepat sehingga guru punya beban yang sangat berat untuk mengakomodasi gaya belajar siswanya yang beragam.
PR merupakan salah satu cara mengakomodasi gaya belajar kinestetik. Siswa diminta mengerjakan secara mandiri di rumah sehingga muncullah istilah learning by doing, karena siswa ikut terlibat aktif dalam mengerjakan sesuatu.Â
PR juga mengakomodasi gaya belajar secara visual karena siswa melihat secara langsung apa yang ada di hadapannya pada jarak yang lebih dekat. Pada beberapa kasus, PR juga mengakomodasi gaya belajar auditori saat siswa mendiskusikan tugas yang diberikan.
Surat edaran tersebut berharap adanya waktu lebih buat para siswa untuk mempelajari yang lain. Saya setuju bahwa PR yang terlalu banyak akan membuat siswa tidak punya waktu untuk mempelajari yang lain.Â
Beban PR yang tinggi bisa menimbulkan stres di kalangan siswa yang berakibat pada menurunnya kemampuan belajar (saya lebih suka menggunakan istilah kemampuan belajar daripada prestasi, karena prestasi bukanlah tujuan akhir belajar).Â
Menurut pengamatan saya, banyak siswa tidak sedang menggunakan waktunya dengan efisien dan bertanggung jawab. Coba saja perhatikan berapa banyak waktu yang dipakai untuk bersosial media? Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, Telegram dll. telah menjadi bagian hidup anak zaman now. Bahkan batasan usia anak pun dianggap kuno dan cukup banyak yang melanggar.Â
Anak saya pernah meminta ijin untuk punya akun Facebook (contoh) yang mensyaratkan minimum usia 14 tahun saat dia masih berusia 12 tahun. Saya tegas mengatakan tidak! Dia beralasan kalau teman-temannya sudah punya dengan cara memalsukan tahun lahir. Saya jawab tegas menjawabnya TIDAK! Dia menambahkan bahwa orang tua temannya menyetujui hal itu. Saya tegaskan sekali lagi, TIDAK! Saya minta dia untuk menunggu waktunya tiba.Â
Saya yakin, berbagai program sosmed yang memberikan batasan usia minimal pasti punya alasan. Salah satunya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri yang (biasanya) masih lemah di bawah usia tertentu. Hanya saja, pemilihan angka secara pasti sudah pasti akan menjadi isu yang tak lekang untuk diperdebatkan.
Game online juga telah meraup waktu siswa. Beberapa media memberikan razia yang menjaring siswa di tempat game online saat jam sekolah menunjukkan bahwa pergumulan terkait dengan game online ini cukup besar.Â
Di sisi yang lain, ada juga siswa yang menghabiskan waktunya dari satu tempat les ke tempat les yang lain. Saya bukanlah orang yang anti dengan les, tetapi apa tujuannya? Jika tujuannya untuk mengembangkan bakat dan minat, saya masih bisa menerima. Tetapi jika tujuannya supaya bisa berprestasi, saya cenderung menolaknya. Ya..., saya pernah menolak memberikan les kepada seorang siswa yang sebenarnya sudah mampu belajar mandiri. Jika memang si anak punya kesulitan belajar, maka les bisa menjadi solusi.Â
Aktivitas selain PR memang banyak, tetapi apakah dengan meniadakan PR maka siswa pasti punya waktu untuk belajar yang lain? Saya meragukan hal itu. Bisa jadi, waktu yang biasanya dipakai untuk mengerjakan PR akan dialihkan untuk lebih banyak main game online atau ber-sosmed. Akibatnya tujuan peniadaan PR tersebut menjadi sia-sia.
Bercermin dari model pendidikan di Finlandia
Finlandia menjadi sebuah negara yang masuk dalam referensi saat berbicara tentang sistem pendidikan. Beberapa tahun tinggal di negara ini, saya melihat ada hal yang menarik terkait dengan PR. Sistem pendidikan Finlandia tidak melarang guru memberikan PR kepada siswanya. Hanya saja, pemberian PR ini mengacu pada usia siswa.Â
Untuk level SD, PR dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 30 menit, kecuali untuk tugas besar seperti mengumpulkan herbarium. Pada jenjang SMP dan SMA, model PR bisa semakin kompleks tetapi tetap tidak sampai membuat anak kehilangan waktu banyak sehingga tidak sempat mengerjakan yang lain.
Beberapa tayangan video menyebarkan berita bahwa di Finlandia tidak ada PR. Rasanya memang judul harus dibuat bombastis supaya menarik. Yang benar adalah PR di Finlandia disesuaikan dengan usia siswa.
Saya belum pernah menemui LBB di Finlandia seperti yang menjamur di Indonesia. Saya hanya menemui berbagai macam klub yang dapat diikuti siswa di luar jam sekolah. Selain itu, Finlandia banyak menekankan kecintaan terhadap alam dan udara di luar sehingga situasi taman kota bisa dipastikan padat saat udara cerah. Kondisi suhu 20-30 derajad celsius sudah memberikan godaan yang sangat besar untuk mendorong anak-anak beraktivitas di luar rumah.
Penutup
Apakah meniadakan PR menjadi sebuah solusi supaya anak punya waktu untuk belajar yang lain? Saya kira tidak, jika memang tidak dipikirkan secara terstruktur. Dengan diprogramkan secara terstruktur, itu akan membuat tujuan surat edaran tersebut dicapai, tetapi sebenarnya itu juga PR dalam bentuk yang lain. Saya hanya berharap bahwa kebijakan ini sudah dipikirkan dengan matang sehingga tidak mengorbankan masa depan siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H