Meraba Akar Pikiran Pemilih Calon Bupati Lumajang.
Dunia maya menjadi sarana paling genit dewasa ini. Banyak para pegiat yang mulai untuk beradu peran demi mendapat suara dari masyarakat. Tidak terkecuali para pemuda hits lumajang dari kalangan Seni, mereka mengerahkan keahliannya menjadi juru kampanye para calon.Â
Beberapa ada yang sangat kritis, tapi kritis kalau mengomentari pendapat paslon lainnya. Â Jadinya media sosial tidak jadi ajang diskusi, lebih kepada saling menyindir satu sama lainnya. Jarang ada yang mengulas keunggulan dan kelemahan pasangan idolanya sendiri. Apakah ini sehat? Yah, tentu memang harusnya seperti itu.Â
Tapi bayangkan jika juru kampanye menjadi lebih berimbang?, tentu akan lebih menarik. Sekiranya pemuda menjadi juru kampanye tentu tidak ada resiko apapun dari geraknya, jabatannya, dsb. Pemuda lebih luwes dalam peran sosialnya, sebab mereka juga bagian dari pemilih kontemporer mengingat usia yang relatif lebih panjang untuk berkiprah.
La kehadiran juru kampanye dadakan juga cukup unik. Asal dapat foto dengan paslon, mereka menjadi bangga dan beberapa status medsosnya naik dari level biasa menjadi tergila-gila. Muncul siasat untuk mengelu-elukan agar calon idola menjadi begitu menggoda untuk dipilih. Faktanya, dari itu situasi Pilkada begitu kuat menyedot perhatian berbagai lapisan masyarakat.
Situasi seperti ini sebenarnya yang diharapkan masyarakat dapat memunculkan kedewasaan berfikir dari tokoh yang netral. Ia tidak terprovokasi dan menggiring opini, melainkan menyadarkan dengan ide pimikiran baru yang nanti dapat mengawal setiap janji-janii para paslon agar dapat terwujud. Tim Pengawal janji-janji pemenang pemilu juga tidaklah harus baku/formal melainkan sekumpulan pegiat yang dengan mudah dan luwes yang nantinya mengingatkan kepada pemenang pemilu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H