Tengger  Yang Istimewa.
Kecamatan Senduro memiliki masyarakat suku tengger yang tersebar di 2 desa yaitu Desa Argosari dan Desa Ranupani. Satu tahun yang lalu, saya tertarik mengungkapkan tentang sebutan istimewa untuk suku tengger yaitu Tiyang Gajah Mada yang secara sejarah sampai abad ke -18 Keraton Yogyakarta mengakui itu. Kali ini saya mencoba mendekatkan kemurnian suku tengger sebagai keluarga besar bangsa indonesia.Â
Tidak banyak yang percaya akan suatu kemurnian peradaban, tetapi nyatanya westernisasi bukanlah kekasih bagi suku tengger. Â Mereka membawa pesan kemurnian yang sampai detik ini kuat bertahan dari gempuran arus globalisasi. Saya artikan kemurnian itu kekhasan yang melekat tanpa pernah ditutup-tutupi atau dibuat pura-pura. Jarak titik Nol Kilometer (0 Km) kedua Desa tersebut sekitar 35 Km dengan Kabupaten Lumajang. Beberapa titik jalan saat ini sudah mendapatkan perbaikan, sehingga tidak sesulit ketika saya pertama kali kesana sekitar tahun 2008 lalu. Kini Tengger di Kabupaten lumajang juga identik dengan wisata Puncak B-29 (2900 mdpl) juga pendakian Gn. Semeru yang tentu melewati Desa Ranupani (2200 mdpl). Memang kekhasan dari Tengger yang paling terlihat adalah poros kehidupan mereka yang berada di lembah dataran tinggi. Mereka tersebar di Sekitar Gn. Bromo dan Gn. Semeru. Yang jarang terekspose oleh media massa adalah bagaimana suku tengger yang memiliki bahasa tersendiri juga cara pandang mereka terhadap gejala alam.Â
Saya tertarik mengulas akan hal itu. Sekalipun bahasa tengger tidak sepopuler Jawa, Madura, Sunda, tetapi alangkah menakjubkannya mereka di mata saya. Ketika suatu masyarakat dapat bertahan dan terus berkembang hingga memiliki kebudayaan tersendiri, Bahasa tersendiri, serta cara mereka mempertahankan keindahan alam sekitar tampak jelas betapa arifnya hal itu. Sebab saat ini tidaklah mudah menemukan suku-suku bangsa yang dapat bertahan dari kerasnya dinamika peradaban.Â
Contohnya betapa rakusnya Pembalakan Hutan di mana-mana, sampai tiada yang tersisa kecuali dongeng-dongeng pernah memiliki Hutan yang lestari. Tengger masih memiliki Mitos Ajisaka, Leliwet, Petra, Walagara, Unan-unan, Yadya Kasada, dll. Kesemua itu adalah Sudut pandang Mereka yang sangat mesra terhadap Gejala Alam. Alam Sekitar adalah layaknya kekasih yang benar-benar diperhitungkan. Ketika Alam mengisyarakatkan sesuatu mereka paham betul akan apa yang harus dilakukan kepada kekasih. Alhasil, datanglah sendiri ke Tengger, lihatlah kekasihnya yang cantik memanjakan mata siapa saja.
Bagi saya, memang seharusnya begitulah cara pandang kita terhadap seisi alam ini. Kita tidak bisa terus memposisikan sebagai Subjek dan apa-apa yang ada disekitar kita sebagai Objek. Sebab Bumi pastilah mahluknya, Langit dapat berbicara, Daun yang jatuh pun pasti membawa Alasannya, Angin yang berhembus pastilah memiliki Nama, dll. Salah satu tokoh Sufi juga sering memaparkan akan hal itu, bercerita dengan syair-syairnya:
Langit adalah laki-laki dan bumi perempuan; bumi memupuk seluruh yang telah langit turunkan.
Apabila bumi kekurangan panas, langit mengirimkannya; jika ia kehilangan embun dan kesegaran, langit memulihkannya.
Langit berkeliling, laksana seorang suami yang mencari nafkah demi istrinya.
Sedang bumi sibuk mengurus rumah tangganya; ia merawat yang lahir dan menyusui apa yang telah ia lahirkan.
Pandanglah bumi dan langit sebagai mahluk yang dikaruniai kecerdasan, karena mereka melakukan pekerjaan mahluk yang berakal-pikiran.