Saat saya masih SMA dulu, jarak rumah hingga sekolah saya kira-kira 11 kilometer. Agar tidak terlambat, pagi hari ayah saya mengantar ke sekolah, ditempuh selama 30-45 menit. Sewangi apapun rambut dan seragam saya, ketika sampai di sekolah rambut dan baju saya menjadi berbau asap motor dan polusi udara. Sepulang sekolah, saya menggunakan angkot dengan lama tempuh 1,5 hingga 2 jam karena macet. Jika saya sesekali pulang terlambat, lama tempuhnya bisa 2,5 jam saat rush hour. Kemudian saya kuliah di Yogyakarta (Jogja). Saat itu udaranya lebih bersih dibandingkan di tempat tinggal saya. Jalanannya lebih lengang, jarang macet. Tidak perlu khawatir baju bau asap dan polusi. Saya senang bukan main.Â
Tapi itu dulu. Sekarang di beberapa titik jalan kota Jogja sudah sering terjadi kemacetan. Udara sudah tidak sebersih dulu. Walaupun begitu mungkin hanya orang asli Jogja dan yang seperti saya (anak rantau dari Jabodetabek dan tinggal dalam kurun waktu yang lama) yang bisa menyadari perubahannya. Beberapa waktu yang lalu adik saya mengunjungi saya di Jogja untuk pertama kalinya. Kami jalan-jalan keliling kota. Dia berkata "Kak, udara disini enak, ya! Panas nya juga tidak terlalu menyengat seperti di rumah. Padahal ini jam 12 siang, lho".Â
Kemacetan di Jakarta dan kota-kota sekitarnya mungkin sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi warga yang tinggal dan bekerja disana. Apalagi untuk masyarakat kota sekitar Jakarta (seperti Bekasi) yang setiap hari harus berangkat setelah Shubuh dan pulang malam. Tetangga saya kebanyakan bekerja di Jakarta. Setiap waktu Shubuh, sayup-sayup suara mesin mobil yang sedang dipanaskan mulai terdengar di komplek rumah. Dan mobil-mobil itu muncul lagi jam 8 atau 9 malam. Itu terjadi terus kecuali Sabtu dan/atau Minggu.
Menurut saya kemacetan ini sudah sangat memberi dampak negatif yang tidak main main. Dampaknya sangat besar ditinjau dari bidang produktivitas, ekonomi, psikis, kesehatan maupun lingkungan, bukan hanya masalah transportasi semata.
Produktivitas, dimana banyak janji atau meeting kantor yang tertunda serta berkurangnya jam kerja  karena kemacetan. (Sapta, 2009).
Ekonomi, dimana kemacetan menyebabkan bahan bakar yang terbuang habis di jalanan. Ibaratnya, bensin 5 liter untuk 5 hari, karena macet maka hanya cukup untuk 3 hari saja. Sehingga, biaya membeli bahan bakar akan membengkak.
Psikis, dimana banyak orang yang terjebak macet akan merasa gelisah, tertekan, dan peningkatan emosional lainnya sehingga memicu peningkatan stress (Tondok, 2009).
Kesehatan, dimana kualitas hidup masyarakat akan menurun akibat polusi udara yang menimbulkan beberapa gangguan pernapasan (Setyono, tanpa tahun)
Lingkungan, dimana gas hasil kendaraan bermotor berpotensi meningkatkan polusi udara. Zat zat dan gas hasil pembakaran seperti karbon monoksida, yang berbahaya bagi lapisan ozon. (Moeis, tanpa tahun). Bumi menjadi semakin panas, ozon yang menipis menyebabkan radiasi sinar matahari tidak terfilter dengan baik.
Pemerintah saat ini tengah sibuk membangun transportasi publik yang nyaman, murah dan terintegrasi. Ini patut kita dukung dan apresiasi!Â
Dimulai dari menambah armada bis Transjakarta serta meningkatkan pelayanannya serta menambah koridor dan jalur (saat ini sudah ada jalur Transjakarta Bekasi-HI dan Bekasi-Tanjung Priok). Angkutan yang berfungsi sebagai feeder menuju halte Transjakarta pun disediakan. Pemerintah juga sedang menggarap pembangunan MRT (kereta cepat bawah tanah) serta LRT (kereta layang). Bandara Soekarno-Hatta tercinta sedang membuat stasiun kereta, sehingga kelak kita bisa naik kereta menuju bandara. Pihak angkutan umum lainnya juga sedang berbenah diri. Dan tak hanya Jakarta saja, namun juga kota Bekasi, Depok, dan lainnya, bahu membahu berbenah diri. Tak ketinggalan hadirnya jasa transportasi online yang menjadi solusi akhir bagi kaum urban Ibukota dengan mobilitas tinggi. Semua ini demi mengurai benang kusut kemacetan Ibukota, untuk kenyamanan bersama.
Melalui tulisan ini, (sembari penulis juga mengingatkan diri sendiri) alangkah baiknya agar kita sebagai masyarakat pengguna jalan raya juga mau merubah mindset kita perlahan. Kita dukung upaya pemerintah dengan cara berusaha memanfaatkan sarana transportasi yang sudah pemerintah sediakan. Karena upaya mengurai kemacetan ini tidak akan berhasil jika mindset masyarakatnya masih sama, memilih menggunakan kendaraan pribadi. Saya paham bahwa karena tuntutan mobilitas, kita mungkin masih belum bisa beralih ke transportasi umum sepenuhnya. Tetapi bisa kan, dimulai dari hal yang kecil saat kondisinya memungkinkan. Misal saat janjian dengan teman di kafe hari Minggu, kita memilih untuk naik Transjakarta dibandingkan membawa sepeda motor atau mobil pribadi. Atau mau beralih sepenuhnya? Mantap jos!
Jika jutaan masyarakat Jabodetabek melakukan hal-hal kecil seperti ini, wah pasti efeknya lebih terasa lagi. Sembari kita pantau upaya yang dilakukan pemerintah. Jika ada masukan, misalnya mungkin armada bis masih kurang, dan sebagainya, sampaikan kepada pihak pemerintah dengan bentuk saran yang membangun serta beretika.
Jangan hanya sibuk nyinyir saja terhadap pemerintah, toh jalan yang bikin penuh itu karena kita juga kan?
Salam cinta untuk kota Jakarta dan sekitarnya.