Mohon tunggu...
Miftaahul Jananh
Miftaahul Jananh Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pembaca dan Penanya

Panggil saja saya Mips, saya gemar menuliskan hal-hal aneh yang mungkin bisa dibilang menjadi sebuah kegemaran yang aneh pula. Sangat antusias dalam masalah woman empowerment, pangan, nutrisi, hak asasi manusia, dan buku. Sering mengira dirinya berada di Tokyo, tahun 1970 dengan lagu city pop mengumandang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menarasikan Kembali Keberagaman dan Perempuan

5 November 2019   04:48 Diperbarui: 5 November 2019   04:52 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia terkenal dengan keberagamannya, pun tentang betapa Indonesia menghargai keberagaman. Sayangnya, keberagaman yang ada kini dipandang secara eksklusif. Hal ini tentunya ditandai dengan berbagai macam tindakan persekusi yang hadir dekat dengan kita. Seperti, persekusi ras, agama minoritas, hingga gender. Pada tahun 2018, SETARA Institute mempublikasi indeks kota toleran (IKT) Indonesia yang ternyata tidak memiliki perbedaan signifikan dalam indeks toleransi secara umum dibandingkan dengan IKT  tahun lalu. Namun yang menarik adalah adanya perubahan posisi 10 kota dengan IKT terendah secara berurutan adalah Tanjungbalai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, dan Sabang Dan 10 kota dengan IKT tertinggi secara berurutan dari yang terendah hingga tertinggi adalah Singkawang, Salatiga, Pematangsiantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, dan Surabaya. Munculnya kota-kota Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, dan Surabaya dengan IKT tertinggi menandakan adanya pergeseran budaya serta munculnya urgensi dikota-kota tersebut tentang betapa pentingnya isu-isu toleransi yang ada., 

Keadaan yang tidak ramah akan keberagaman ini, menurut saya, menghilangkan jati diri Indonesia. Banyaknya kebijakan daerah yang penuh dengan unsur ketidakadilan gender dan membatasi kebebasan berekspresi dalam memeluk serta mengekspresikan agamanya sendiri, membuat saya meringis. Indonesia sedang terluka ternyata. Lantas, saya berpikir apa yang bisa saya lakukan dalam upaya mengobati luka yang kini sedang sakit-sakitnya. Ada satu hal yang saya pikir akan menjadi tantangan kita namun juga menjadi peluang yang bisa kita maksimalkan untuk menangani masalah ini. Satu hal yang mudah namun juga sulit, yaitu dengan menarasikan kembali keberagaman dan perempuan yang manusiawi.

Dua aspek itu, keberagaman dan perempuan, sering dianggap sebagai outliers dan diasingkan karena berdiri bersama stigma yang berkembang di masyarakat. Misalnya saja keberagaman. Ketika kita mendengar keberagaman, kita tertuju pada ragam suku dan budaya yang ada di Indonesia tapi pada kenyataannya kita masih cenderung menganggap bahwa keberagaman adalah perbedaan yang patut disenjangi. Padahal nyatanya, keberagaman itulah tulang rusuk yang menyatukan Indonesia. Tanpa terkecuali adanya argumen kontradiktif yang meng-kambing hitamkan keberagaman Indonesia. 

Sedangkan pada aspek perempuan, yah sudah kita ketahui bahwa budaya patriarki masih berkembang dengan subur disetiap elemen masyarakat ini. Contoh mudahnya adalah dengan mengecualikan dan mengecilkan peranan perempuan disetiap aspek kehidupan. "Udahlah mif, perempuan mah kerjanya cuma di ranjang, dapur, dan ngurusi anak saja" adalah kata yang sering saya dengat tatkala saya berkata bahwa kita harus mengikutsertakan peranan perempuan dimasyarakat. 

Lalu bagaimana jika kamu adalah seorang perempuan dengan ras yang minoritas dan agama  yang minoritas pula? Saya hanya bisa berkata bahwa, kamu harus kuat dan ayo kita bergandeng tangan melawan ini semua. Dan mungkin jika saya yang berada pada posisi tersebut, saya akan gampang sekali menyerah. Tapi lagi-lagi, ada hal yang bisa kita lakukan. Ya tentu saja, yaitu dengan menarasikan kembali keberagaman dan perempuan yang manusiawi. 

Ada banyak narasi tentang keberagaman dan perempuan sekarang. Terima kasih Internet, tentunya. Namun tak banyak narasi yang bersifat manusia dan syarat akan keadilan gender. Kasus paling mudah yang sering kita temui adalah adanya narasi victim blaming pada tajuk utama berita pemerkosaan. Menyedihkan. Tapi ini juga tantangan bagi kita, karena kita punya senjata yang sama dengan mereka yaitu internet dan kata-kata. 

Inilah yang dilakukan oleh Bu Mathilda AMW Birowo, seorang perempuan yang berkecimpung dibidang komunikasi dengan segudang prestasi. Setelah dipilih menjadi salah satu awardee Australian awards 2018 dalam dialog antaragama dan kursus dua minggu di Deakin University tentang keragaman dan inklusi, Bu Mathilda melahirkan sebuah buku yang berjudul Melati di Taman Keberagaman yang diterbitkan melalui Penerbit Grasindo. 

Peluncuran buku ini dihadiri dengan talkshow menarik tentang Kepemimpinan dalam Merawat Kebhinekaan dengan panel pembicara Mathilda AMW Birowo, Prof. Dr. Musdah Mulia dari Indonesian Confrence on Religion and Peace (ICRP), serta Hermien Kleden sebagai Senior Journalist & Media Mentor yang dimoderatori oleh Ayu Kartika. Diskusi tentang ini pun berlangsung pelik pada Rabu, 30 Oktober 2019. Saya tentu saja terkesima dengan perspektif baru yang saya dapati. Ambil contoh saja tentang bagaimana seharusnya narasi tentang perempuan menjadi agen perdamaian akan membuat perubahan yang cukup signifikan dalam menangani tindakan intoleransi dan radikalisme yang ada. Atau tentang perempuan yang seharusnya memunyai hak atas tubuhnya dan dirinya sendiri serta betapa pentingnya merangkul orang banyak dengan keberagaman yang ada 

Pantaslah ketika saya bilang bahwa buku Melati di Taman Keberagaman hadir sebagai aksi nyata menarasikan kembali keberagaman dan perempuan. Ketika membaca buku ini pun banyak perspektif baru yang membuat saya berpikir lagi tentang kepemimpinan yang dekat dengan menghargai diri sendiri dan orang lain. Untuk itu, buku ini merupakan langkah awal bagi tumbuhnya narasi-narasi yang ramah akan keberagaman dan gender. Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan oleh kita adalah dialog dan narasi dengan berbagai sudut pandang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun