Muslim mana yang tak bahagia dipertemukan dengan bulan mulia, pendosa mana yang tak girang melihat bulan penuh ampunan, berandal mana yang keberatan disatukan dengan bulan penuh kasih sayang, dan pemimpi mana yang tak terharu merasakan datangnya bulan penuh pemenuhan?
Tak ada yang tak bahagia menyambut bulan suci Ramadhan. Namun tahun ini, rasanya agak sedikit berbeda. Benar kan?
Malam tadi adalah kali pertama shalat tarawih dilakukan di musholla atau masjid, seharusnya. Bapak-ibu-anak akan sibuk gelar karpet, shaf shalat akan terisi penuh sampe nyempil di depan pintu, imam melantunkan bacaan shalat dengan keras dan merdu, anak-anak akan teriak ‘AAMIINNNNNNNN’ sekuat tenaga mereka di akhir Al-Fatihah sampe nenek-kakek pada kaget, sarung akan berubah fungsi jadi pedang-pedangan, tukang jajan bakalan banyak yang nongkrong nunggu shalat kelar, masjid/musholla jadi alesan bocil biar bisa keluar malem tp giliran disuruh solat malah kabur, dipertengahan bakalan ada anak umur 4tahun yang nangis kejer sambil bilang ‘Maaahhhh, mau jajan minta duit’, ibu-ibu bakalan baku hantam demi memperebutkan shaf deket kipas, anak-anak gabut yang gamau shalat ngeberesin sandal, bolak-balik wudhu karena ga kuat nahan kentut, atau remaja yang misuh gegara bacaan imam yang lama dan panjaaaaaangg banget kek masalah hidup.
Iya, begitu seharusnya, kan? Semua kebahagiaan dan suka cita menyambut bulan suci ini. Tapi ternyata, Allah menentukan kebutuhan rohani kita dengan cara yang lain. Bahkan dengan cara yang mungkin tidak kita sangka sebelumnya.
Keadaan ini membuat kita memiliki perasaan yang tidak dapat diutarakan, hanya terpendam-dipendam-tak terungkapkan tapi cukup menyakitkan. Kata teman yang ada di Pemalang, dia terharu bisa ketemu lagi sama bulan ramadhan walaupun kondisinya buruk dan puasa pertama tidak bersama bapak (bapak mengapa kau tidak pulang)..
Teman lain di pulau seberang yang katanya bernama Pulau Bangka, bilang kalau ia meneteskan air mata di rakaat pertama shalat isya berjamaah, entah apa yang mendasari air itu tiba-tiba jatuh, katanya.. Teman terakhir berbeda planet, disebut dengan nama Planet Bekasi, ia bilang kalau di sana masih ada yang melaksanakan shalat tarawih berjamaah, tapi sayangnya ia memilih di rumah karena takut dan bapaknya mewakili keluarga shalat tarawih di musholla padahal itu lho pak anakmu minta diimamin sareng bapak...
Pokoknya, walaupun ramadhan tahun ini ngga sama dengan tahun sebelumnya, jangan tinggalin puasa, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya ya. Dunia boleh kacau, tapi kita jangan. Dunia boleh berubah, tapi ibadah tetap ibadah. Di rumah, di masjid, di musholla, di lapangan, atau di dalam penjara pun, ibadah akan tetap dinilai sebagai ibadah. Bukan tempatnya, tapi esensi dan penerapannya.
Sebagai penutup, “selamat melaksanakan shaum Ramadhan wahai jiwa-jiwa dengki yang senantiasa Allah sayangi.”
Semoga lapang jalanmu, berkah ibadahmu, dan tenang hatimu. Aamiin.
Mohon maaf dari yang lahir menuju yang batin…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H