Mohon tunggu...
Heriyanto Nurcahyo
Heriyanto Nurcahyo Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Berbagi untuk menjadi lebih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Guru Alay

12 November 2015   09:37 Diperbarui: 12 November 2015   09:59 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Whiteboard Stories (26)

BUKAN GURU ALAY

 

Beberapa siswa tertangkap tangan menggunakan obat-obatan terlarang disebuah sekolah. Untuk beberapa saat sekolah menjadi sangat heboh. Desas- desus  menyebar antar siswa dengan siswa yang lain, pun juga antar guru. Di ruang guru, semua saling pandang dan berdebat apakah siswa tersebut diampuni atau tidak. Dikeluarkan dari sekolah atau dipertahankan, dinaikkan atau tinggal kelas?. Bahkan yang lebih ekstrim, menyerahkan sang siswa pada pihak berwajib (Polisi).

Dalam menyikapi kondisi dan fenomena ini, biasanya dewan guru terbelah menjadi  tiga bagian/kelompok. Kelompok pertama adalah guru moderat yang melihat permasalahan ini sebagai sebuah pembelajaran bagaimana menjadikan kasus yang ditemui sebagai jalan menyadarkan dan membangun kepercayaan siswa. Kelompok ini melihat pendidikan sebagai proses dan bukan hasil akhir itu sendiri. Mereka lebih setuju siswa yang menghadapi permasalahan ini diberi kepercayaan dan kesempatan untuk bisa bangkit dan berlari menjauh dari tindakan yang melanggar hukum ini. Menurut para guru kelompok ini, pendidikanlah yang seharusnya menjadikan siswa tersebut lebih baik dalam berprilaku dan berbuat.

Kelompok  kedua sedikit agak ekstrim dalam memandang permasalahan semacam ini. Mereka cenderung mengambil jalan pintas. Mengeluarkan siswa bermasalah dari sekolah. Alih-alih memperbaiki dan memberi kesempatan si siswa untuk berubah, mereka lebih nyaman dan mencari jalan selamat. Memindahkan ke sekolah lain adalah jalan termudah untuk lepas dari masalah yang dihadapi sekolah. Kelompok ini cenderung memiliki pengikut yang lumayan banyak. Bahkan sering mendominasi keputusan di sekolah.

Kelompok ketiga adalah mereka yang tidak masuk di keduanya. Cenderung tidak mau tahu dan terkesan cuci tangan. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Mereka biasanya ikut keputusan akhir. Ketiga kelompok inilah yang memengaruhi keberadaan dan nafas sebuah sekolah. Kadangkala, ada kalanya mereka (guru) yang tidak terlalu aktif di kelas (bolos) adalah mereka yang paling kenceng mendesak penyelesaian kasus secara instan.

Kita memahami bahwa pendidikan adalah sarana yang digadang-gadang menjadi wahana menyemai dan membangun karakter mulia. Kemana anak-anak bermasalah tadi menemukan pelabuhan bagi pendidikan budi pekerti dan karakternya ? bukankah sekolah sebagai alternatifnya ketika peran orang tua tidak bisa lagi diandalkan? Ketika anak-anak hidup dalam dunia yang asing dan jauh dari kepengasuhan positif? Bukankah tugas mulia itu menjadi lahan kita bersama untuk mendulang ibadah dan perjuangan membangun peradaban yang agung? Dimanakah posisi kita sebenarnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun