Mohon tunggu...
Atina Winaya
Atina Winaya Mohon Tunggu... -

Catatan seorang arkeolog pemula ~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Para Arkeolog Berkumpul

18 April 2017   22:35 Diperbarui: 18 April 2017   22:47 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir genap sepekan yang lalu, para arkeolog yang tergabung di dalam Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Jabodetabek, berkumpul bersama menghadiri kegiatan Diskusi Ilmiah Arkeologi yang rutin diadakan setiap tahun. Diskusi kali ini mengangkat tema "Perkembangan Ilmu Arkeologi Dunia dan Masa Depan Arkeologi Indonesia". 

Ruang auditorium Museum Nasional pun dipenuhi oleh arkeolog-arkeolog dari berbagai kalangan dan usia, baik yang berkecimpung di dunia pemerintahan maupun swasta, serta yang baru saja lulus sarjana hingga yang sudah sepuh. Seluruh peserta yang hadir nampak antusias mendengarkan ceramah umum yang disampaikan oleh para "sesepuh" arkeologi yang amat dihormati dan dibanggakan, yaitu Edi Sedyawati, Mundardjito, dan Noerhadi Magetsari. Bagi arkeolog Indonesia, ketiga nama tersebut sudah tidak asing lagi mengingat segudang prestasi yang telah mereka hasilkan beserta kontribusi yang begitu berharga bagi dunia arkeologi Indonesia. 

Sejenak mendengarkan wawasan yang dibagikan,  bagi para lulusan jurusan arkeologi Universitas Indonesia seakan kembali bernostalgia ke masa beberapa puluh tahun silam dimana mereka sedang asyik mendengarkan kuliah sang profesor di dalam kelas. Diskusi semakin lengkap dengan adanya pembicara keempat, yaitu Inda C. Noerhadi, seorang arkeolog yang sukses menekuni bidang di luar arkeologi. Paparan Inda memberikan sudut pandang yang baru dan segar bagi prospek dunia arkeologi Indonesia di masa depan.

Edi Sedyawati menyampaikan ceramah mengenai perkembangan teori dan metode arkeologi di dunia beserta prospeknya bagi perkembangan arkeologi di Indonesia. Mantan Direktur Jenderal Kebudayaan di era 90-an itu mengingatkan bahwa teori dan metode arkeologi Indonesia harus selalu update mengikuti perkembangan zaman. Seorang arkeolog harus mampu melakukan pengkajian ilmiah secara profesional sekaligus menjalin komunikasi dua arah dengan masyarakat dalam menyampaikan hasil-hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan. 

Selanjutnya, Mundardjito membawakan isu yang sangat menarik untuk didiskusikan, yakni mengenai pencapaian dan kendala dalam upaya pelestarian cagar budaya di Indonesia. Arkeolog lapangan yang kerap dijuluki "Bapak Arkeologi Indonesia" itu menyampaikan bahwa sebenarnya peraturan-peraturan yang dimiliki pemerintah dalam upaya pelestarian cagar budaya sudah cukup memadai, dimulai dari Monumenten Ordonanntie (1931), UU tentang Cagar Budaya (1992), 

hingga UU tentang Cagar Budaya (2010), namun sayangnya peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan UU tahun 2010 tersebut hingga kini belum diundangkan. Tujuh tahun penantian mengakibatkan impelementasi pelestarian cagar budaya di Indonesia tidak dapat dilakukan secara optimal. Salah satu isu terkini yang tengah marak mengancam keutuhan cagar budaya adalah perusakan situs Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.

Isu yang tak kalah penting untuk didiskusikan adalah mengenai perkembangan museum dalam pelestarian cagar budaya yang disampaikan oleh Noerhadi Magetsari. Guru besar yang masih aktif mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tersebut memaparkan mengenai konsep new museology, dimana museum dihadirkan secara terbuka untuk semua lapisan masyarakat, bukan ditujukan khusus untuk orang-orang yang "mengerti". 

Partisipasi pengunjung dilibatkan secara optimal dalam bentuk museum yang bersifat partisipatif. Selain itu, museum hadir tidak melulu sebagai institusi yang bersifat formal, melainkan memfasilitasi masyarakat modern yang mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang lain sama sekali dengan hal-hal yang bersifat akademis. Misalnya sebagai tempat berdiskusi atau tempat rekreasi keluarga dan muda-mudi.

Melengkapi isu-isu hangat yang telah dikemukakan oleh para guru besar arkeologi, Inda C. Noerhadi mengemukakan pandangannya mengenai perkembangan kemasalaluan (arkeologi) untuk kepentingan publik. Pemilik Galeri Cemara yang berlokasi di bilangan Jakarta Pusat tersebut menggagas perlu adanya "mediator" yang menghubungkan kajian arkeologi dengan kepentingan publik.

 Salah satu praktik nyata yang dilakukan Inda adalah melakukan sosialisasi dan diskusi mengenai perhiasan-perhiasan yang dikenakan oleh masyarakat masa lalu kepada masyarakat masa kini. Keberadaan perhiasan di masa lalu tentunya dapat menjadi inspirasi bagi para pengrajin perhiasan di masa kini. Para arkeolog mempunyai tanggung jawab moral untuk menyampaikan kajian-kajian arkeologi kepada masyarakat umum. Tentunya penyampaian tersebut dikemas semudah dan seringan mungkin agar dapat dipahami oleh masyarakat. Hadirnya media sosial dapat dimanfaatkan secara optimal di dalam komunikasi tersebut.

Diskusi berjalan menyenangkan dan komunikatif, disusul dengan para penanggap yang menanggapi ceramah tersebut serta para peserta yang mengajukan berbagai pertanyaan. Topik-topik yang dibicarakan kiranya amat bermanfaat bagi para arkeolog yang berkumpul di hari itu. Selain sebagai ajang untuk menambah wawasan dan pengetahuan, pertemuan kali itu menjadi momen berharga untuk menyegarkan kembali semangat ke-arkeologi-an sekaligus reuni kecil-kecilan bagi para arkeolog yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun