Puasa Ramadan 1440 H sudah mulai kita awali di hari yang sama 6 Mei 2019. Selain ritual khas yang tampak sama seperti tarawih yang dimulai Minggu, 5 Mei 2019, berbuka puasa bersama, sampai bazar rakyat menjual menu takjil, ternyata polemik yang menyertai Ramadan bisa jadi tetap juga sama. Sampai tahun ini, kemungkinan persoalan yang mewarnainya bisa jadi masih seputar itu-itu saja, salah satunya tentang jam operasional tempat hiburan dan restoran selama Ramadan.
Padahal, masalah ini sebenarnya tak perlu berlarut-larut. Namun kenyataannya di lapangan, peraturan masih sering berubah-berubah kebijakannya. Tiap daerah juga tidak seragam. Ambil contoh di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang mengubah jam operasional tempat hiburan dan restoran bergeser lebih mundur dari pukul 12.00 menjadi 16.00 di Ramadan 1440 H ini. Kemenag bersama MUI Tangsel telah menetapkan bahwa seluruh restoran dan tempat hiburan stop selama bulan puasa.
Penutupan itu dilakukan dua hari sebelum Ramadan, selama puasa dan seminggu setelah Ramadan. Terkait hal itu jam operasional diatur untuk bisa tetap melayani nonmuslim, musafir dan ibu hamil. Selama buka hingga pukul 04.30, restoran yang beroperasi harus menggunakan penutup di sekelilingnya misalnya tirai atau gorden. Kebijakan ini untungnya diterima baik oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) cabang Tangsel. Alasannya demi menjaga kesucian Ramadan benar-benar terasa.
Namun sebagai umat Islam, permasalahan teknis di lapangan semacam ini mestinya tidak perlu harus setiap tahun menjadi bahasan. Memang peraturan itu dimaksudkan untuk menghormati umat Islam yang berpuasa. Namun bukankah kesucian Ramadan juga tanggung jawab individu yang menjalankan kewajiban puasa itu? Artinya ada yang semestinya lebih diperhatikan oleh umat Islam sendiri yang melaksanakan ibadah Ramadan itu yaitu tentang nilai-nilai toleransi yang harus ditumbuhkan.
Apalagi jika dalam rangka mendapatkan pahalanya, agar berlipat yang didapat, maka godaan selama berpuasa bisa jadi salah satu cara cepat untuk mendulang banyak pahala itu. Logikanya sebenarnya sangat sederhana: makin banyak godaan dan yang menjalankan menang atas godaan itu maka ia akan mendapatkan hadiahnya itu juga makin besar. Dan yang ikut andil memberikan tambahan pahala pada puasa Ramadan seseorang itu tentu saja mereka yang tidak wajib berpuasa Ramadan.
Bukan saja yang terhalang berpuasa karena kondisi tertentu seperti anak kecil, orang yang tidak berakal, orang dalam perjalanan, perempuan berhaid dan nifas setelah melahirkan. Mestinya, mereka yang tidak wajib berpuasa di antaranya adalah nonmuslim itu. Mereka yang tidak puasa ini semestinya ikut diperhitungkan menyumbang nilai puasa kita. Tapi sering mereka dilupakan untuk dihormati. Mentang-mentang yang nonmuslim minoritas, mereka lah yang harus menghormati umat muslim yang sedang berpuasa.
Apa ini tidak keliru? Ya, tidak memang. Umat muslim punya hak asasi mendapatkan kenyamanan dalam berpuasa. Sebulan saja. Cuma, rasanya tidak elok jika yang berkewajiban justru meminta-minta dihormati. Kalau mau mendapatkan lebih pahala Ramadan, mengapa tidak berani untuk memulai penghormatan dari kita sendiri kepada yang tidak berpuasa itu? Jadi, kalau pun tak ada peraturan penutupan tempat hiburan dan restoran, umat Islam tak bersikeras menuntut.
Andai logika sederhana ini bisa diterima maka mungkin akan ada umat Islam yang berpuasa justru berkata: "jangan tutup gorden restoranmu, biar aku saja yang menutup (menahan) nafsuku agar kamu tak terganggu dengan puasaku ini dan semoga puasaku akan mendapatkan pahala yang berlimpah". Semoga saja pemikiran ini membantu polemik Ramadan tidak makin meruncing. Selamat menyambut Ramadan bagi yang berpuasa dan yang tidak berpuasa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H