Ketika trailer film Winter in Tokyo yang diangkat dari novel Ilana Tan tayang di Youtube pada awal Juli 2016, beragam komentar muncul menanggapi trailer tersebut. Di antara semua komentar yang ada, saya mendapati bahwa ada banyak komentar yang mempertanyakan kenapa film ini menggunakan bahasa Indonesia baku.
Sejujurnya saya kaget melihat komentar tersebut. Jadi selama ini film Indonesia, terutama film untuk remaja dan dewasa muda, menggunakan bahasa apa? Bahasa Inggris? Bahasa Indonesia alay? Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, saya seharusnya tidak kaget jika generasi muda Indonesia, terutama remaja dan anak-anak, merasa bahasa Indonesia baku tidaklah keren.
Orangtua tampak bangga jika anaknya bisa berbahasa Inggris. Ini bisa dilihat di mal-mal pada akhir pekan ketika orangtua membentak anaknya dengan, “No! Stop it! Don’t do that!” Di rumah, anak-anak itu terbiasa dengan tontonan sinetron atau acara musik yang bisa berjam-jam yang para pembawa acaranya bicara dengan bahasa Indonesia yang sering kali diimbuhi dengan kata-kata hinaan, ejekan, yang tidak berkualitas.
Jadi tidak heran jika melihat trailer Winter in Tokyo, para penonton kaget. “Lho, filmnya pakai bahasa Indonesia baku?” Oh, saya perlu jelaskan dulu, baku tidaklah sama dengan kaku. Baku artinya tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan kualitas yang sesuai standar. Artinya, begitulah semestinya bahasa Indonesia yang berlaku sesuai kesepakatan dan standar bahasa.
Kalau memakai bahasa Indonesia baku dianggap aneh, bisa jadi selama ini penggunaan bahasa Indonesia kita kuantitas dan kualitasnya di bawah standar. Sudah bahasa Indonesia-nya di bawah standar, sering kali kita sok pula meralat atau memperbaiki tata bahasa atau ejaan yang salah tulis dalam bahasa Inggris. Sementara itu, menulis dalam bahasa Indonesia pun kita tidak bisa membedakan mana yang benar antara: “Mana di mana anak kambing saya? Atau ”Mana dimana anak kambing saya?” Yang entah dikemanakan kambingnya oleh sang gembala.
Film Winter in Tokyo barangkali bisa jadi pengingat bahwa selama ini kita sudah lupa berbahasa Indonesia. Bahwa belakangan ini selipan kata-kata gaul dan kasar seakan jadi bagian yang tak terpisahkan dari semacam ide kekerenan. Atau mungkin yang lebih miris, kita hanya menganggap berbahasa Indonesia baku hanyalah tugas guru bahasa Indonesia.
Akan tetapi, melihat komentar-komentar lain yang mendukung penggunaan bahasa baku setelah mereka membaca dan menonton Winter in Tokyo--yang novelnya memang ditulis dengan bahasa baku--saya rasa masih ada harapan untuk bahasa Indonesia. Semoga para pembuat film, penulis buku menyadari bahwa film dan novel adalah medium paling kuat untuk menyampaikan pesan, “Kenapa harus takut berbahasa Indonesia, jika banyak kata-kata indah yang bisa diucapkan dengan bahasa Indonesia yang baku?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H