"Gravity" adalah film yang indah sekaligus kompleks dalam kesederhaannya. Jenis film yang membuat penonton masih tercengang sehabis keluar dari bioskop. Film yang membuat kita berpikir ulang tentang apa arti hidup dan alasan kita berada di bumi ini. Jika tahun lalu “Life of Pi” membawa kita terapung di laut, “Gravity” membawa kita terapung di luar angkasa.
Film dibuka dengan dua astronaut yang sedang memasang perangkat medis di luar angkasa yang diperankan oleh Sandra Bullock dan George Clooney. Misi sederhana yang kemudian berantakan karena masalah demi masalah muncul menghantam mereka. Sandra Bullock berperan sebagai Dr. Ryan Stone, pakar medis yang pertama kali menjadi astronaut. Sementara George Clooney berperan sebagai Matt Kowalski, astronaut veteran dalam misi terakhirnya sebelum pensiun.
Disutradarai oleh Alfonso Cuaron, yang lama berprofesi sebagai sinematografer, tidak heran jika gambar-gambar dalam “Gravity” ini menampilkan visual yang indah luar biasa. Penggunaan teknologi IMAX menampilkan gambar-gambar yang tajam; luar angkasa, pesawat ulang-alik, satelit, dan Bumi dengan titik-titik kecilnya. Saya bukan penggemar 3D, tapi saya amat menyarankan untuk menontonnya dalam bioskop 3D. Karena menonton “Gravity” bukan sekadar menonton tapi merasakan “pengalaman” di dalam film.
Dalam 91 menit film yang skenarionya ditulis oleh Alfonso Cuaron dan putranya, kita mengalami naik-turun emosi seiring dengan perjuangan tokoh-tokohnya untuk bertahan hidup. Film ini mengajak kita bertanya tentang apa tujuan kita hidup dan seberapa kuatnya keinginan kita untuk hidup… dan tentang kelahiran kembali. Kita juga diajak untuk bertanya tentang keberadaan Tuhan di semesta ini. Tidak seperti film “Contact” yang juga bercerita tentang luar angkasa dan secara gamblang memperdebatkan konsep Tuhan di semesta, “Gravity” lebih menyelipkan unsur Tuhan ini melalui gagasan dan metafora. Cerita film ini cenderung sederhana, tapi memiliki kedalaman intensitas yang kompleks.
Praktis film ini dikuasai oleh Sandra Bullock, music latar belakang, dan efek visual. Tiga hal ini membuat “Gravity” terasa nyata. Terasa manusiawi. Ketegangan demi ketegangan dibangun melalui perjuangan Dr. Ryan Stone untuk bertahan hidup. Tidak ada alien jahat yang hendak menguasai manusia, tidak ada meteor yang harus dicegah menabrak bumi. Hanya ada manusia yang berada di ambang pilihan untuk hidup atau mati.
Kita melihat bagaimana Dr. Ryan Stone mengalami beberapa kali kelahiran kembali melalui simbolisme dalam film ini. Kita diajak untuk melihat metafora cerita melalui gambar, seperti ketika Ryan Stone melengkungkan tubuhnya seperti janin dalam rahim dan untuk beberapa detik kita ikut merasa aman. Gambar-gambar penuh metafora macam itu menjadikan “Gravity” film yang manusiawi dalam kemasan efek visual yang canggih.
Teknologi zaman sekarang membuat kita terkoneksi dengan banyak orang melalui perangkat canggih kita. Sering kita berharap bisa mendapat ketenangan, kesunyian dalam dunia yang hiruk-pikuk ini. Tapi seperti kalimat pembuka dalam film ini; “There is no sound in space… Life in space is impossible.”, kita melihat bahwa kesunyian total bisa membuat orang putus asa. Bahkan kematian pun terasa lebih mudah jika kita ditemani suara makhluk hidup lain. Namun dalam keheningan pula kita bisa mendengar suara yang terlupakan. Suara hati kita sendiri. Suara yang hanya bisa kita dengarkan saat kita berserah pada yang Kuasa.
Apakah kematian merupakan pilihan manusia ataukah itu ada di tangan Tuhan? Apakah berserah sama dengan menyerah? Apakah yang menjadi alasan kita untuk hidup? “Gravity” menjawab pertanyaan-pertanyaan macam itu melalui gambar yang menakjubkan, akting luar biasa Sandra Bullock, dan musik latar yang pas.
Ada kalanya dalam hidup kita sebagai manusia, kita mengalami kemalangan demi kemalangan yang membuat kita berpikir untuk menyerak. Ada momen-momen dalam hidup kita yang mungkin saja membuat kita berpikir lebih baik aku mati saja. Tapi ternyata dalam derita dan kemalangan itu, kita memilih untuk bertahan. Apa yang membuat kita mengambil keputusan untuk tetap hidup? Apa yang menjadi alasan kita berjuang? Ilmu pengetahuan tidak bisa menjawab semua misteri ini. Kita hanya bisa memanusiawikan misteri tersebut dan Alfonso Cuaron berhasil melakukannya dalam mahakarya ini.
@Hetih, 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H