Novel biografi Buya Hamka Setangkai Pena di Taman Pujangga ini ditulis oleh Akmal Naseri Basral. Novel ini merupakan novel pertama Dwilogi.
Novel biografi ini ditulis dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh para pembaca. Novel ini cocok dibaca oleh orang tua, guru dan juga para kaum muda penerus bangsa.
Di mana pada novel ini mengisahkan sosok Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang biasa dipanggil Malik. Ia gemar membaca buku, yang mana kegemaran membaca itulah yang menjadikan Malik dikenal sebagai seorang pujangga dengan nama pena Hamka.
Kegemaran membaca buku ini terlihat ketika hadirnya tempat persewaan buku yang dibuka oleh Angku Zainuddin Labai El-Junusy, tempat itu diberi nama Bibliotek Zainaro, berasal dari gabungan nama Zainuddin dan Bagindo Sinaro.
Buku-buku di Bibliotek bisa dipinjam dengan membayar lima sen untuk waktu dua hari. Awalnya Malik menyewa buku setiap hari dengan membayar lima sen untuk dua hari (hal 83). Namun, uang jajan yang disisihkan untuk menyewa buku tidak cukup. Apalagi daya baca Malik semakin tinggi.
Satu buku bisa diselesaikan dalam satu hari. Malik pun mencari cara agar tetap bisa membaca buku di persewaan buku tersebut.
Malik pun mendapat ide cemerlang untuk mengatasinya. Dia mengetahui bahwa di tempat persewaan buku tersebut, angku Zainuddin biasa menyampul buku dengan kertas karton agar kualitas buku tetap terjaga. Malik pun memberanikan diri untuk menawarkan diri sebagai pekerja menyampul buku dari karton dan membuat lem. Tawarannya diterima. Hal itu membuat Malik menjadi sangat gembira.
Kemampuan membaca Malik pun semakin bertambah. Dia juga diberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan menyampul buku di rumah, jika waktu di tempat persewaan itu terbatas. Hal ini membuat Malik semakin giat dalam membaca.
Namun, sayang, apa yang disenangi Malik tidak sependapat dengan Sang ayah- Haji Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Haji Rasul. Sang ayah hanya menginginkan Malik menjadi seorang ulama seperti yang sudah menjadi cita-cita turun temurun. Dari kakeknya, ayahnya, dan sekarang dirinya yang diinginkan sebagai seorang ulama.
"Engkau ini jika besar nanti akan menjadi ulama atau tukang cerita?" Ingin sekali dia menjawab, "Keduanya, ayahanda!" Akan tetapi, jawaban itu tidak pernah keluar dari mulutnya. (Hal: 85)