Bulan Ramadan telah tiba. Bulan yang penuh ampunan dan berkah ini menjadi bulan yang dinanti nanti oleh sebagian besar umat muslim seperti kita. Bulan yang memberikan banyak pahala untuk perbuatan baik kita.
Pada saat itu, kita melaksanakan puasa yang diwajibkan, sejak matahari mulai terbit pada subuh sampai matahari tenggelam. Di Indonesia itu kurang lebih selama 13-14 jam. Namun di beberapa negara di belahan dunia lain, durasi puasa jauh lebih panjang karena matahari muncul sangat panjang, sehingga waktu puasapun akan lebih panjang.
Dalam keadaaan itu, kita memang akan lemah, lemas dan mungkin kurang konsentrasi karena air yang tidak tersuplai dengan baik ke tubuh. Namun dengan tempaan pengalaman berpuasa sejak kecil, saya percaya banyak orang sudah terlatih dan mungkin mulai berlatih untuk tetap fokus dan mengerjakan kewajiban sehari-hari dengan baik.
Ada yang lebih penting dari sekadar kuat berpuasa secara fisik, yaitu kuat berpuasa secara mental. Apa itu ? Jika secara mental dan fisik kita sudah siap untuk berpuasa maka selain fisik, kita akan kuat jika ada banyak godaan makanan atau suasana yang memungkinkan kita membatalkan puasa, seperti cafe kesayangan kita yang tetap buka di siang hari, restoran langganan keluarga dimana kita sering makan bersama keluarga atau hal-hal lain yang memungkinkan kita batal.
Seringkali kita memakai tameng toleransi, dengan tuntutan  menutup warung makan atau cafe yang buka pada siang hari dengan dalih umat muslim yang sedang berpuasa akan tergoda. Padahal jika kita punya mental yang baik, maka godaan itu tidak akan ada artinya dan puasa jalan terus.
Karena sebenarnya, dengan menutup warung makan itu menunjukkan bahwa kita itu lemah dalam menjaga hawa nafsu. Alih-alih menjaga diri, kita justru mempermasalahkan restoran dan warung-warung yang beroperasi di tengah-tengah bulan puasa. Budaya ini sepertinya telah mengakar di Indonesia, jika anak jatuh, lantainya yang disalahin, jika kepentok meja, mejanya yang dibilang nakal. Pun ketika Muslim merasa tergoda dengan makanan, warung-warung itu yang dikambinghitamkan.
Dengan begitu, kita dengan lantang bisa mengucapkan marhaban ya ramadhan untuk menyambut bulan suci ini. Marhaban bukan hanya berarti ucapan selamat datang, namun berakar dari kata yang berarti "luas" atau "lapang".
Maka,marhaban ya ramadhan dapat pula dimaknai sebagai kelapangan hati menyambut bulan Ramadan, meski godaan besar menerpa kita. Toleransi, bukan menuntut untuk dimengerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H