Minggu ini tepatnya tanggal 12/2/2021, kita merayakan Tahun baru Imlek untuk ke 21 di Indonesia. Ya memang sejak lama warga Indonesia keturunan Tionghoa tinggal di Indonesia namun mereka mendapat banyak tekanan pada masa Orde Baru.Â
Bahkan merayakan Tahun Baru berdasarkan penanggalan China pun dilarang. Jika diantara kita masih ingat, ada drama yang diambil dari cerita tradisional China yaitu Sampai EngTai yang dimainkan oleh kelompok teater pimpinan N Riantiarno, pada masa itu sempat akan dilarang. Namun akhirnya diperbolehkan dengan bermacam syarat seperti tidak ada huruf Cina dan barongsai dalam gelaran teater itu. Â
Sampai pada masa orba tumbang dan presiden Soeharto diganti dengan presiden BJ Habibie dan Abdurahman Wahid sebagai presiden ketiga dan keempat, banyak melakukan perubahan menyangkut warga Indonesia keturunan Tionghoa di Indonesia. Mereka tidak merasa ditekan lagi dan bisa dengan bebas melakukan kepercayaan dan budayanya.
Presiden Habibie memutuskan bahwa istilah pribumi dan non pribumi yang sebelumnya menjadi pembeda antara orang asli Indonesia dengan warga keturunan Tionghoa dihapuskan dan semuanya melebur dengan sebutan warga Indonesia.Â
Gus Dur lebih progresif dalam menghapuskan diskriminasi kepada mereka, diantaranya adalah mengakui agama ke enam yaitu Kong Hu Cu. Kemudian beliau juga membolehkan perayaan Imlek yang merupakan tahun baru Cina dan membolehkan budaya dan perayaan China dilakukan di Indonesia.
Sejak itu, perayaan Imlek yang sebelumnya dilakukan secara senyap di setiap rumah, sejak itu bisa dilakukan secara terbuka. Orang menyukai pertunjukan barongsai yang sebelumnya jarang mereka lihat.Â
Warga juga merayakan imlek dengan terbuka dan tenang. Tak heran jika Gus Dur begitu dicintai oleh masyarakat minoritas karena perhatiannya kepada mereka. Beliau juga sering dijuluki sebagai bapak Pluralisme.
Sejujurnya, perkembangan seperti ini adalah langkah maju yang harus kita dukung bersama. Â Keturunan Tionghoa sama halnya dengan warga keturunan Arab juga sudah lama hidup di Indonesia.Â
Tidak mungkin negara sebesar dan seberagam Indonesia selalu bersikap kerdil dan cenderung meng-eklusifkan kelompoknya sendiri hanya karena dikotomi mayoritas --minoritas.
Sama halnya dengan agama dan beberapa ketentuan yang kurang menghargai keberadaan kelompok yang berbeda di sekolah, juga harus diperbaiki. Dengan terbitnya SKB tiga menteri soal seragam sekolah mungkin kita bisa berjalan ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H