Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awas Penunggang Liar

9 Oktober 2020   11:55 Diperbarui: 9 Oktober 2020   12:06 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun ini ketika demokrasi makin mendapat tempat di hati rakyat, ditemukan bahwa rakyat makin terbuka dalam mengemukakan pendapatnya. Era reformasi memang memungkinkan seseorang untuk berbicara apa saja untuk mengekspresikan pendapat dan idenya tanpa takut ditangkap oleh aparat, atau tiba-tiba menghilang. Era reformasi adalah masa dimana demokrasi amat dihargai dimana seseorang juga didengar pendapatnya meski berbeda ide.

Hal ini tidak pernah mereka temukan pada masa orde baru (Orba) dimana aspirasi rakyat dibatasi ekspresinya. Tidak saja dalam politik, namun juga memberikan pendapat pada media massa. Jika isi aspirasi media atau rakyat tidak sesuai dengan pemerintah, siap-siap saja media itu dibreidel alias dicabut izinnya. Beberapa orang media dan non media masuk penjara, sebagian tidak melalui pengadilan hingga puluhan tahun lamanya.

Seperti yang diungkapkan pada alinea awal, reformasi memungkinkan semuanya kini. "kemerdekaan" mengemukakan pendapat tidak hanya terbatas pada konten (isinya) tapi juga salurannya. Orang tidak saja bebas berpendapat di media mainstream, tapi juga di media sosial.

Kini nyaris setiap isu yang agak penting dan penting bagi bangsa akan mendapat reaksi dari masyarakat. Hanya saja dengan keriuhan yang luar biasa terhadap sesuatu, kadang membuat kita bingung mana yang merupakan fakta dan mana yang merupakan provokasi.

Contoh paling dekat dengan hal ini semisal adalah UU Omnibus Law yang sudah disahkan oleh DPR namun mendapat tentangan dari masyarakat. Tentangan itu berakumulasi dan membuat demo di hampir semua kota besar di Indonesia dan melibatkan buruh dan mahasiswa. Demo yang terjadi Kamis (9/9/2020) merupakan demo yang besar jika diperbandingkan dengan demo menentang sebuah UU.  

Sebagai sebuah proses berbangsa dan bernegara, demo itu mungkin bisa kita maklumi. Cara DPR mensahkan dan proses yang menyertainya seakan mendadak dan sembunyi-sembunyi dan masyarakt layak untuk curiga. Namun yang patut disorot dari demo yang membuat media asing memberitakan adalah perusakan fasilitas umum dengan membakar dan merusak. Di Jakarta saja ada sekitar 20 halte bus yang terbakar dan biaya renovasi diperkirakan sebesar 11 Miliar.

Menurut penulis, tak semestinya demo dalam konteks dialektika berbangsa dan bernegara itu diikuti dengan perusakan fasilitas umum. Tak pelak pasti ada penunggang liar atau sering disebut provokator dalam proses ini. Provokasi mudah menyebar seolah menjadi aspirasi sehingga dengan mudah menyulur anarki.

Indonesia memag harus berbenah. Baik pemerintah maupun masyarakatnya sehingga tak mudah dipecah oleh berbagai isu yang berkembang. Karena ini akan merusak persatuan dan kesatuan. Mari satukan tekad untuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun