Pernahkah kita membayangkan masa yang pernah dilalui, yaitu masa tanpa internet dan sosial media. Ya sekitar 35 tahun lalu ketika computer baru saja dipakai di beberapa Negara dan belum masuk ke Indonesia, pekerja dan generasi muda zaman itu harus bekerja dengan cara manual. Menghubungi orang tak segampang sekarang karena waktu itu handphone belum popular dan perangkat telepon yang ada pada zaman itu  adalah telepon rumah.
Begitu juga dalam hal komunikasi tertulis. Komputer masih jarang ditemui (pemiliknya bisa dihitung dengan jari) semua komunikasi dengan cara tulis menulis dan kearsipan masih memakai kertas dan komunikasi manual yaitu dengan cara tertulis. Â Yaitu melalui surat menyurat yang sangat menghabiskan waktu.
Pencarian informasipun begitu. Banyak generasi muda yang sedang mencari pekerjaan, menemukan informasi dan menandai lowongan pekerjaan yang ditemukan melalui iklan tertulis di surat kabar.Â
Begitu juga pengumuman hasil test sekolah maupun test pekerjaan semuanya dilakukan melalui tulis yaitu koran dan melalui surat. Kadang kabar penting misalnyainformasi soal kerabat meninggal dilakukan melalui telegram.
Begitu juga media massa. Zaman itu televisi baru saja berkembang di Indonesia, dan stasiun TVRI adalah satu-satunya televisi yang ada.Â
Awalnya tanpa iklan dan programnya sering berisi jargon-jargon Orde Baru tentang pembangunan dan pedesaan. Selang beberapa puluh tahun kemudian, televisi swasta bermunculan dengan tampilan sedikit lebih menarik dibanding TVRI pada jaman itu.
Begitu juga soal pribadi. Orang tak gampang marah karena kondisi tak mudah ditebak dibading zaman sekarang, dimana sosial media dan wa sangat membantu kita sekaligus akhirnya membuat kita repot karena kemarahan lebih mudah tersulut.Â
Pada masa lalu, kebencian tak mudah ditiupkan. Â Jadi situasi masa lalu bisa dibilang masa yang penuh dengan perjuangan untuk mendapatkan informasi
Tapi yang perlu dicatat adalah pada masa itu masa yang minim orang mempersoalkan perbedaan baik agama , suku, ras (etnik) dan antar golongan (SARA).Â
Mereka sadar bahwa Indonesia adalah Negara majemuk, tempat melting pot (pertemuan) antar beberapa golongan berbeda di banyak kawasan. Hingga mau tak mau kita harus menerima mereka sebagai satu bangsa dan berjuang atas nama bangsa Indonesia.
Malah jika kita buka sejarah banyak sekali pemuda minoritas entah keturunan China, Ambon, Batak yang terlibat pada pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Â