Tidak selamanya manusia itu selalu berbuat tidak baik atau sebaliknya. Ada kalanya manusia bisa menjadi pribadi yang menyenangkan, menyebalkan, hingga meresahkan. Bagi para mantan pelaku tindak pidana terorisme, masa lalunya mungkin merupakan masa lalu yang tidak disukai masyarakat. Karena kesehariaannya selalu meresahkan masyarakat.Â
Tindakan teror yang mereka lakukan, tidak hanya membuat takut, tapi juga membuat sejumlah masyarakat tak berdosa menjadi korban. Namun seiring berjalannya waktu, para mereka tidak selamanya menjadi teroris. Setelah menjalani masa hukuman, mantan napi terorisme ini memilih bertobat, meminta maaf, dan mendukung NKRI. Dan hal itulah yang terjadi selama ini. Pertanyaannya, mau dan mampukah kita memaafkan perbuatan mereka?
Memaafkan tentu tidak mudah bagi sebagian orang. Apalagi yang pernah menjadi korban kekerasan para teroris ini. Ledakan bom menyisakan dihati dan luka para korban ini, tentu tidak bisa dihapus. Apalagi bagi korban yang sebagian anggota tubuhnya rusak, terbakar, ataupun mengalami kecacatan. Mulai dari korban bom Bali, hingga bom Thamrin dan Kampung Melayu, masih menyisakan pahit.Â
Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang menyimpan dendam. Namun, seiring berjalannya waktu mereka sadar. Menyimpan dendam tidaklah ada gunanya. Dendam justru memperpanjang api permusuhan. Karena itulah, tidak sedikit dari para korban ledakan bom ini memilih memaafkan para pelaku peledakan bom.
Sebut saja seperti Chusnul Khotimah. Salah satu korban ledakan bom bali ini, mengalami luka bakar hampir di 70 persen tubuhnya. Sepanjang hidupnya dia terus mengalami penderitaan. Bahkan, Kartu Indonesia Sehat (KIS) tidak mampu mengobat luka bakar di tubuhnya. Dibalik penderitaannya itu, Chusnul berusaha menghilangka dendam yang ada dalam hatinya. Dan upaya yang dijalaninya itu pelan-pelan berhasil. Ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar silaturahmi bertajuk Satukan NKRI, yang mempertemukan antara mantan pelaku teror dengan korban, Chusnul mengatakan telah memaafkan para mantan penebar teror itu.
Dan hal yang juga ditunjukkan oleh Ali Fauzi, adik termuda dari terpidana mati bom Bali ini, juga telah mengakui kesalahannya. Meski dia tidak terlibat secara langsung dalam setiap aksi teror, namun sebagian para pelaku teror itu adalah mantan murid-muridnya. Salah satu kemampuan merakit bom itu, didapat dari dirinya. Berkali-kali dirinya meminta maaf kepada publik, atas perbuatan kakak-kakaknya dan dirinya.Â
Lalu, bagaimana dengan kita? Ketika para mantan pelaku dan korban saling memaafkan, sebagai masyarakat biasa apakah kita bisa memaafkan? Mari kita belajar dari peristiwa ini. Para mantan pelaku dan korban telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.
Mari kita saling introspeksi diri. Jangan saling menyalahkan dan jangan merasa paling benar. Karena kebenaran itu pada dasarnya hanya milik Sang Pencipta. Belajarlah saling memaafkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena Tuhan menganjurkan kepada kita semua, untuk bisa saling berdampingan, saling menghargai, saling tolong menolong antar sesama.Â
Jika masih tersimpan dendam dalam diri, maka segala perbuatan baik itu akan menjauh dalam kehidupan kita. Jika kita memilih itu, tentu kita termasuk dalam manusia yang merugi. Dan para mantan pelaku peledakan dan korban bom, memilih saling memaafkan, agar mereka tidak termasuk dalam manusia yang merugi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H