Tidak ada orang yang ada di bumi ini yang tidak menghendaki kedamaian. Semua orang pasti menginginkan hidup damai. Setiap orang bisa hidup berdampingan dengan siapa saja. Seorang Jawa bisa berdampingan dengan Sunda, Madura, ataupun suku lainnya. Begitu juga seorang muslim, juga harus bisa saling menghormati dengan pemeluk agama Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Jika kita bisa berdampingan dalam keberagaman ini, tentu akan bisa memupuk rasa toleransi antar sesama. Dan memupuk toleransi inilah yang bisa melahirkan rasa saling menghormati, saling menghargai dan saling tolong menolong.
Sebenarnya, toleransi itu merupakan nilai-nilai luhur yang telah dikenalkan oleh nenek moyang. Toleransi juga telah diadopsi dalam Pancasila, yang kemudian menjadi dasar Negara. Toleransi juga membuat hubungan antar manusia bisa setara. Tidak ada mayoritas minoritas, tidak ada kaya miskin, semua orang apapun latar belakang dan status sosialnya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Menghormati keberagaman sejatinya sudah dicontohkan para generasi sebelumnya. Jika kalian tinggal agak lama di desa, pasti akan merasakan bagaimana keramahan masyarakatnya. Kalian juga akan bisa menangkap pola kearifan lokal, yang masih bisa dirasakan saat ini. Sayangnya, akibat maraknya provokasi di media massa, membuat masyarakat kehilangan rasa kritisnya. Logika yang awalnya rasional, dibalik menjadi tidak rasional. Kebencian begitu mudah menyelimuti setiap informasi yang dimunculkan.
Di tahun politik seperti sekarang ini, provokasi dan ujaran kebencian diperkirakan akan semakin massif. Ujaran kebencian ini diperkirakan akan ditujukan kepada pihak-pihak yang mencalonkan diri sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Jika kita tidak bisa berpikir rasional, tentu tidak akan bisa melihat informasi yang dimunculkan secara utuh. Kita akan melihat kejadian yang kita lihat secara sepotong-sepotong saja. Obyektivitas berubah menjadi subyektifitas. Toleransi berubah menjadi intoleran. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan bibit radikalisme dan terorisme akan mudah merasuki setiap lini masyarakat.
Biasanya, hal yang dimunculkan adalah mayoritas merasa tidak mendapatkan haknya. Minoritas dianggap muncul dan semena-mena. Kita akan dibenturkan sebagai Negara dengan mayoritas muslim. Karena itulah, segala hal yang ada di negara ini harus bernuansa muslim. Mulai dari pemimpin hingga kebijakannya harus bernuansa muslim. Apakah hal itu salah? Tentu tidak. Mayoritas masyarakat Indonesia beragama muslim memang tidak bias dibantah. Namun, fakta adanya masyarakat yang menganut agama lain juga tidak bisa dibantah. Mereka juga harus diperhatikan. Mereka juga harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.
Indonesia lahir dari keberagaman. Indonesia lahir dari kemajemukan. Sebagai warga Negara yang baik, semestinya kita tidak bisa melupakan fakta tentang keberagaman ini. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Meski muslim dianggap sebagai mayoritas, tetap harus memperhatikan yang non muslim. Meski Jawa dianggap mendominasi, tetap harus diberikan hak yang sama terhadap Sunda, Batak, ataupun suku-suku yang lainnya. Begitu juga dalam hal menjalani ibadah, juga harus diberi kebebasan yang seluas-luasnya, karena diatur dalam undang-undang. Jika kita bisa menghargai keberagaman sejak dini, maka kedamaian akan tercipta sejak dini pula.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI