Dunia sempat dibuat terkejut ketika seorang perempuan bernama Samantha Lewthwaite disebut sebagai dalang aksi teror yang terjadi di Mal Wesgate di kota Nairobi, Kenya, pada bulan September 2013 silam. Hal tersebut merupakan sebua kejutan yang tidak terduga, di mana perempuan hampir tidak pernah bersinggungan langsung dengan terorisme. Pertanyaan yang muncul di benak saya, dan mungkin di benak banyak orang adalah, mengapa perempuan seperti Samantha dapat terlibat terorisme? Ada beberapa pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama adalah dari sudut pandang taktis, di mana perempuan direkrut sebagai anggota teroris untuk mengisi kekosongan jumlah anggota yang kain menyusut. Pandangan kedua adalah perempuan dianggap mampu memberi efek kejutan karena umumnya masyarakat tidak akan mengira kaum hawa dapat melakukan tindak kejahatan terorisme. Selain itu, ada pandangan lain yang menyebut perempuan mudah membaur dengan masyarakat umum sekaligus menghindari deteksi penanggulangan terorisme. Lalu apa yang menjadi alasan adanya ketertarikan pada diri perempuan untuk bergabung dengan terorisme? Menurut saya, hal tersebut bisa jadi karena tergantung individu, organisasi, dan sasaran politik dari grup yang ada. Ada pula faktor pendorong lain, seperti contoh pada kasus "Black Widow" atau janda pelaku bom bunuh diri di konflik Chechnya, di mana bertujuan untuk membalas dendam atas kehilangan orang-orang terkasihnya. Bahkan terkadang perempuan bergabung dengan terorisme untuk mengembalikan nama baik keluarganya (biasanya terjadi di kawasan konflik). Dengan ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa kecenderungan perempuan bergabung dengan terorisme adalah karena alasan personal, bukan karena ideologi. Apapun bentuk partisipasi dalam terorisme baik berbasis keagamaan maupun politik memang tidak mengenal perbedaan jender. Indoktrinisasi, infiltrasi, pergaulan, pembalasan dendam, dan hal-hal pendorong lainnya dapat memasuki setiap orang kapanpun dan dimanapun. Meskipun begitu, justru lebih banyak peran perempuan dalam mengobarkan semangat perdamaian dibandingkan kekerasan. Perempuan terbukti lebih gigih berjuang memberikan pencerahan terhadap masyarakat untuk menjauhi kekerasan, apalagi terorisme. Salah satu contoh perempuan yang aktif bersuara menggalang perdamaian dunia adalah seorang ilmuwan sekaligus aktifis sosial asal Jerman bernama Dr. Edit Schlaffer. Melalui program bentukannya yang bertajuk Sisters Against Violent Extremism (SAVE), Dr. Schlaffer mendorong perempuan di seluruh dunia, khususnya di kawasan yang kawan konlik dan terorisme, untuk menghindari kekerasan dan radikalisme. Lebih dari itu, ia juga mendirikan 'Sekolah Ibu' yang bertujuan untuk membekali perempuan dengan alat yang tepat untuk mengangkat isu-isu sensitif (termasuk terorisme di dalamnya) agar kemudian dikomunikasikan kepada keluarganya sebagai bentuk pencegahan konflik. Di Indonesia, hal serupa juga ternyata telah banyak dilakukan oleh perempuan negeri ini. Hal tersebut tampak dari bermunculannya individu-individu perempuan yang berjuang melalui pergerakan sosial seperti LSM untuk mewujudkan penyampaian pesan-pesan perdamaian. Selain itu, suara perempuan kian mendapatkan porsi besar dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Peran perempuan sangat besar dan tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan di dalam keluarga, termasuk perannya dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya ke jalan yang lurus. Melihat kecenderungan saat ini, di mana pelaku terorisme kebanyakan adalah kaum muda, maka peranan perempuan dalam keluarga diperlukan secara optimal, baik oleh ibu maupun saudara perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki kemampuan untuk meredam ego dan berpikir lebih dingin dalam menyelesaikan masalah, sehingga kemudian dapat lebih efektif dalam mendukung pencegahan terorisme di lingkungan hidup terdekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H