"Vox populi vox Dei. Suara Populer adalah Suara Tuhan" --Peribahasa Latin
Indonesia boleh dibilang merupakan salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Dan selayaknya negara-negara demokrasi majemuk lain, Indonesia memiliki beragam suara-suara kelompok, yang disalurkan melalui partai politik dari berbagai Ideologi. Rakyat Indonesia yang ingin menyalurkan suara lewat parta, tinggal memilih ingin lewat yang mana.
Tapi nampaknya, ideologi partai bukanlah batasan pasti pergerakan suatu partai. Ideologi bisa saling cross-over satu sama lain. Yang agamis bisa tampil nasionalis, dan yang nasionalis pun bisa berdandan layaknya agamis. Salah satu yang sedang hangat dibicarakan adalah isu "toleransi" ideologi partai berwarna emas hitam yang baru saja melaksanakan munas, PKS. PKS yang sejak dahulu identik dengan pergerakan Islam, bahkan dianggap "sedikit radikal"oleh beberapa pihak, nampaknya tertarik untuk menjaring suara dengan jaring yang lebih rapat. PKS kini mulai mewacanakan slogan seperti "PKS Untuk Semua"--seperti yang tertulis di salah satu spanduknya. Sebenarnya, peristiwa "persilangan" ideologi partai bukanlah hal yang baru dalam sejarah politik Indonesia, bahkan yang modern. PDIP misalnya, yang walaupun kental ideologi nasionalisnya, namun berusaha mendapatkan suara pemilih agamis muslim pada pemilihan presiden 2004 dengan menggandengkan KH Hasyim Muzadi dengan Megawati. Atau yang lebih baru, tergoda untuk merapat ke koalisi pemerintahan walaupun sejak awal sudah mengumumkan diri sebagai oposisi. Nampaknya memang kultur umum partai-partai di Indonesia adalah mencoba memperapat jaring suara dan menangkap suara-suara dalam spektrum yang lebih luas, walaupun dalam prosesnya perlu "mentoleransi" ideologi partai.
Dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang partai politik, salah satu fungsi parpol adalah sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Dalam kondisi masyarakat yang majemuk, idealnya instrumen penyaluran aspirasi menyediakan jasa penyaluran aspirasi dari berbagai ideologi yang berbeda. Hal ini perlu, untuk memastikan bahwa partai-partai politik mampu mewakili, jika tidak mampu semua, setidaknya sebagian besar ide-ide politik masyarakat.
Realita Kekuasaan Dalam Demokrasi
vox populi vox Dei. Walaupun ungkapan ini tidak sepenuhnya benar, namun setidaknya mampu menggambarkan secara kasar bagaimana peta kekuasaan dalam sebuah sistem demokrasi. Sistem demokrasi tidak mengenal konsep dikotomi konvensional semacam "baik/buruk", "kanan/kiri", atau "putih/hitam". Dalam demokrasi, peta kekuasaan dibagi ke dalam dua bagian, didukung masa atau tidak. Yang didukung akan mendapatkan kekuasaan, dan yang tidak, dengan sendirinya, tidak akan mendapatkan kekuasaan.
Berangkat dari situ, sebuah partai politik yang ingin "menang", perlu memikirkan strategi untuk bisa mendapatkan dukungan "pasar suara". Mungkin secara garis besar tidak jauh berbeda dengan persaingan grup-grup band pop yang berusaha mendapatkan pasar. Dalam proses ini, partai politik harus membuat diri mereka, dan nilai-nilai yang mereka bawa, menarik bagi publik. Dan usaha ini tentu termasuk "memperluas" batas ideologi mereka agar mampu mengakomodasi pandangan populer, hingga "menggeser" ideologi yang tidak lagi relevan dengan pandangan masa.
Walaupun situasi ini berlaku bagi semua partai politik, namun partai politik berbasis agama potensial untuk lebih mudah tergoda untuk memperluas atau menggeser ideologi mereka. Pasalnya, dalam sejarah pemilu Indonesia selepas orde baru, agama bukan merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan perolehan suara. Dari tiga pemilu yang dilaksanakan pada masa reformasi, 1999, 2004, dan 2009, partai-partai yang memperoleh suara terbanyak adalah partai yang basisnya agama. Dalam pemilu terakhir, PKS, partai berbasis agama yang memporelh suara terbanyak, bahkan gagal menembus angka 10 persen. Dan bersama dengan PPP, satu-satunya partai berbasis agama selain PKS yang memenuhi electoral threshold, hanya mengisi 13,2% kursi di DPR. Hal ini menunjukkan bahwa di masyarakat Indonesia, ternyata agamabukanlah mata uang yang nilainya tinggi untuk membeli suara. Fakta ini membuat partai-partai berbasis agama cenderung lebih butuh untuk memperluas atau menggeser ideologinya jika ingin mendapatkan dukungan masa.
Jika kultur ini berlanjut, ada kecenderungan partai-partai politik Indonesia akan punya ideologi "tengah-tengah" yang hampir sama. Tidak banyak berbeda lah, dengan pilihan musik-musik pop saat ini yang "gitu-gitu aja". Menurut UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, salah satu fungsi lain Parpol adalah sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika partai-partai politik menggeser arah ideologinya ke titik yang sama atau serupa, mengikuti animo dan pandangan publik, hal ini akan berakibat tidak sehat pada pendidikan politik masyarakat. Masyarakat tidak akan mampu memilah, menilai, dan memilih visi atau ideologi yang menurut mereka paling tepat dalam membangun dan memajukan negara dan bangsa ini. Keserupaan ideologi juga berpotensi mengabaikan aspirasi-aspirasi minoritas. Padahal salah satu ciri negara demokratis adalah adanya penghargaan hak minoritas, termasuk hak aspirasinya.
Idealnya, partai-partai politik menjaga kebhinekaan ideologinya sebagai bagian dari pendewasaan politik masyarakat. Keberagaman warna politis dan ideologis adalah stimulus yang baik bagi masyarakat agar lebih kritis dalam memilah, menilai, dan memilih, sehingga dalam prosesnya masyarakat mampu menjadi lebih melek politik. Kecenderungan partai-partai politik menggunakan "ideologi karet" dalam usaha mengakomodasi kepentingan masyarakat, yang elastis memenuhi permintaan pasar, juga akan memperlambat pertumbuhan kultur politik Indonesia menjadi kultur yang kritis dan objektif. Lebih lanjut, partai-partai politik seharusnya memperlakukan ideologi mereka sebagai idealisme jangka panjang dalam membangun sistem politik dan sosial Indonesia, dan tidak seharusnya mengorbankannya untuk tujuan pragmatis "membeli" suara.
Pada akhirnya, saya rasa definisi H.J. Morgenthau untuk kata "politik" adalah sangat tepat: "politik adalah usaha untuk mendapatkan kekuasaan". Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dalam usaha itu, mana yang lebih penting, pendekatan yang berpusat pada idealisme dan prosesnya , atau pendekatan yang lebih pragmatis, bahwa hasil yang didapatkan bisa membenarkan cara mendapatkannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H