Mohon tunggu...
Hestu Subhika Garindi
Hestu Subhika Garindi Mohon Tunggu... -

KEEP TAWAZUN | Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa - FISIP - Ilmu Komunikasi 2011 | Humas KAMMI Komisariat Untirta | Pelita Tangerang | Bukan traveler sejati namun tukang nulis yang berarti, suka design, berkarya, bolak-balik luar kota setiap hati (Tangerang-Serang), dan yang pasti bukan belatung nangka #catet.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Banten untuk Siapa? Banten Milik Siapa?

9 Oktober 2013   07:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:47 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini (7/10/2013), memang hari yang aku tunggu-tunggu, karena akan bertemu dengan dosen yang begitu ceriwis walau agak rumpi, tapi seru aja ngeliat tingkahnya dalam mengisi perkuliahan. Sebetulnya ibu dosen ini tidak spesial, biasa saja seperti dosen yang lainnya, namun yang luar biasa, beliau memiliki segudang cerita unik dan mencengangkan tentang Banten. Dengan gaya bicaranya yang khas, kadang membuat geli dan kadang membuat ternganga melihatnya, karena saking seriusnya kita mendengar beliau bercerita.

"Ya, saya kan saudaranya bu Atut, tapi saudara yang golongan Kontra"

What? Kami sekelas sempat kaget mendengarnya, ada juga yang merespon sambil ketawa aneh, agak heran ternyata ada juga ya saudara Gubernur Banten yang tidak cocok dengannya. "Saya begini karena sudah tau bagaimana situasi pemerintahan yang dibina bu Atut sejak dulu". Rasanya ini lucu namun ajaib, bahkan sempat berpikir apa mungkin karena beliau terkontaminasi oleh kawan-kawannya di fakultas yang tergolong peka sosial dan politik, namun itu jadi terbantahkan saat beliau menjelaskan bahwa ia dan suaminya pun tidak suka dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Atut karena gaya kepemimpinannya yang tidak wajar.

"Sekarang bola sedang memanas, saya harap teman-teman mahasiswa bisa memanfaatkan momen ini agar lebih memanaskannya melalui opini yang dimuat pada media massa. Mumpung masih panas, jangan sampai nunggu padam, karena kita harus bisa memperbaiki Banten, beropini salah satu hal kecil namun berdampak besar bagi siapapun yang dikritik." katanya yang semangat.

Sebetulnya ini bukan kali pertama beliau memberikan informasi mengenai kebobrokan Banten, tetapi sudah semenjak pertemuan perdana beliau menyampaikan informasi serupa untuk bahan pembahasannya. Waktu itu aku pikir mungkin karena ia memegang matakuliah Opini Publik, makanya mau tidak mau beliau mengabarkan itu semua sebagai contoh. Tetapi sepertinya ada filosofis tersendiri ketika ia menyampaikan itu. Seperti ada harapan yang ingin segera diwujudkan oleh kami mahasiswa.

Bendungan air mata yang rasanya sudah sesak dirongga dada ketika mendengar uang-uang APBD yang dibilang terbesar di Indonesia bergulir bukan untuk rakyat. Sesak bukan main dan rasanya saat dikelas itu aku ingin teriak tapi tak mungkin. Ya, kebobrokan Banten bukan hal yang tabuh lagi, saking terasanya keanehan dalam fasilitas dan lain-lainnya. Mungkin tidak semua tau bagaimana situasi di Banten jika belum berkunjung langsung, karena Banten sangat mempercantik tampilannya di media atau bahkan banyak yang tidak tau karena pemberitaan tentang Banten di media nasional cukup sedikit. Baru kali ini hal yang lumrah di Banten terkuak pada tataran nasional dan dirasa tabuh.

Banten menjadi sumber koruptor yang sangat empuk, korupsi dianggap sebagai budaya dan kata-katanya pun tidak langsung bilang kalo itu korupsi, lebih dikatakan sebagai "jatah". Bahagia sekali mereka memakan uang rakyat, mungkin belum ada kesempatan ditegur Allah, atau mungkin Allah sudah tidak mencampuri urusannya lagi didunia agar Allah bisa puas memasukkannya ke dalam kerak neraka.

"Biasanya budaya kita di Banten kalau ingin mengadakan agenda seperti ini kita biasa kasih ke Ibu (Atut) 30%, tapi itu belum untuk saya lho.. biasanya saya dapat 10%, dan buat pajak sekian.. dan.. bla bla bla.." Cerita ibu dosen memperagakan cara bicara seseorang saat ia bertemu dengan bidang yang mengajak kepada para akademisi untuk mengevaluasi kinerja dari suatu program kerja se-Banten. Dari angka 90juta, para akademisi tercengang karena akan hanya dapat 30juta saja untuk mengevaluasi kinerja se-Provinsi Banten, karena dipotong sana-sini namun dalam surat perjanjiannya tetap tertulis 90juta rupiah. Sangat mencengangkan bahwa korupsi dilakukan secara terang-terangan. Dengan sigap para akademisi tidak sama sekali menerima ajakan tersebut. Mungkin hal semacam ini yang menyulitkan KPK untuk bergerak, karena data tentang kedzaliman di Banten sudah terkumpul semua tetapi sulit untuk digugat karena yaa surat perjanjian yang sudah tertandatangani oleh para oknum itu sangat rapi.

Ironis dan mirisnya memang tidak tanggung-tanggung, jika kita melihat kondisi Banten saat ini kelaparan, kemiskinan, kesehatan yang tidak memadai, lapangan pekerjaan yang masih kurang dan lain-lainnya menjadi warna-warni yang kelam bagi masyarakat di Banten. Faktor kedinastian pun menjadi salah satu penyebab keburukan tatanan pemerintahan di Banten.

"Kalau Jokowi berhasil memimpin Solo itu biasa, Jokowi memimpin DKI pun masih biasa dan katanya mau memimpin Indonesia itu juga akan biasa saja. Namun Jokowi akan dibilang luar biasa jika ia bisa menjadi Gubernur Banten dan memperbaiki semuanya." Guyonan menantang dari para dosen di fakultas saat mereka berkumpul, menampakkan kegerahan dengan situasi seperti ini dan hanya harapanlah yang membawa perubahan sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun