Mohon tunggu...
Hesti Safitri
Hesti Safitri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Representasi Perempuan dalam Film "Selesai"

15 Januari 2022   14:14 Diperbarui: 15 Januari 2022   14:16 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Selesai adalah sebuah film garapan Tompi yang dirilis pada tahun 2021. Film yang berdurasi kurang lebih 83 menit ini dibintangi oleh beberapa aktor yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Seperti Gading Marten yang berperan sebagai Broto, Ariel Tatum yang berperan sebagai Ayu, Anya Geraldine sebagai Anya, Tika Panggabean sebagai Yani, Farish Nahdi sebagai Dimas, Marini Soerjosoemarno sebagai Ibu Broto dan Dimas, serta Imam Darto yang juga merupakan sang penulis naskah film ini berperan sebagai Bambang.

Muhammad Ali Mursid Alfathoni dan Dani Manesah dalam buku yang ditulis oleh keduanya dengan judul Pengantar Teori Film (2020) menyebutkan bahwa film yang terdiri sepaket antara audio dan visual merupakan bagian dari media massa yang cakupannya luas dan memiliki struktur yang kompleks. Film sangat mampu untuk mempengaruhi emosi siapapun yang menjadi penontonnya. Ketika sedang menonton film, seseorang bisa tertawa jika adegan yang sedang ditampilkan merupakan adegan yang lucu. Beberapa menit kemudian seseorang pun bisa menangis ketika adegan yang ditampilkan menyentuh perasaan dan membuat haru.

Film Selesai menceritakan tentang keadaan rumah tangga sepasang suami istri yaitu Broto dan Ayu yang sedang berada di ujung tanduk, keadaan semakin rumit ketika akhirnya pandemi menyerang dan Ibu Broto harus ikut serta dalam kisah mereka. Di bagian awal film, penonton mungkin akan dapat langsung merasakan emosi karena Broto adalah sosok suami yang menyebalkan karena berselingkuh dengan Anya. Kemudian merasa sangat iba kepada Ayu yang dinilai lemah lembut dan terus memendam rasa sakitnya akibat perlakuan sang suami. Isu yang diangkat dalam film ini pun seperti menggambarkan keadaan di sekitar yang tidak jarang lagi terjadi.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Kurniawan dalam bukunya yang berjudul Semiologi Roland Barthes (2001) yang dimuat di Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 1, No. 1 (2011) menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu atau metode untuk menganalisis dan mengkaji tanda dalam konteks seperti skenario, adegan, gambar, dan teks dalam sebuah film sehingga dapat menjadi sesuatu yang memiliki makna. Dalam film ini, beberapa atau bahkan hampir keseluruhan dari film terkesan seperti memojokkan perempuan. Sosok Ayu yang merupakan istri dari suami yang berselingkuh seakan menggambarkan bahwa dalam setiap perselingkuhan, istri adalah sosok yang menyedihkan. Broto terus -- terusan menyangkal dan malah menyalahkan istrinya atas apa yang terjadi seakan semakin memperkuat kalimat sebelumnya. Meskipun Ayu memberontak, nyatanya kemarahannya tetap tidak bisa mengalahkan power yang dimiliki Broto.

Posisi Ayu pun sering digambarkan sebagai sosok yang lemah ketika Ayu dengan terpaksa harus melakukan suatu kebohongan demi membongkar perselingkuhan suaminya. Singkatnya, Ayu melakukan itu karena ia juga ingin bahagia. Namun pada akhirnya justru hal itu menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Di awal cerita yang fokus pada Broto, langsung berbalik arah dengan Ayu yang menjadi sasarannya. Meskipun Broto dan Ayu sama -- sama salah, tapi sangat jelas terlihat bahwa posisi Ayu yang lebih diberatkan. Tidak ada yang membela atau bahkan merangkulnya, termasuk ibu mertua yang sebelumnya menjadi tameng. Terlihat dari beberapa kali ucapan Ayu memohon. Seluruh bukti yang ada hanya mengarah kepadanya. Broto yang sebenarnya memiliki kasus yang sama, justru seperti diuntungkan.

Anya yang berperan sebagai selingkuhan digambarkan sebagai perempuan muda yang manja. Kemunculannya jarang, hanya sesekali ketika adegan yang bermaksud menggoda. Pun ketika akhirnya ia muncul dan minta dinikahi sambil menggandeng mesra Broto di depan seluruh keluarganya, semakin menjelaskan bahwa perempuan ini tidak memiliki rasa empati ataupun malu sedikitpun. Penjelasan posisi perempuan selanjutnya ketika Bambang tidak sengaja melihat Ayu yang sedang berada di taman. Hal yang sebenarnya normal. Namun objektifikasi perempuan terjadi ketika Bambang justru melakukan hal lain yang dianggap merendahkan perempuan. Ketika perempuan akhirnya bisa digambarkan sebagai sosok pekerja keras, pintar menabung, dan cerdik lewat Yani, namun pada akhirnya pada tokoh ini pun perempuan digambarkan sebagai sosok yang mudah dibohongi. Terlihat dari adegan Bambang yang membawa kabur seluruh uang tabungan Yani, sementara dirinya hanya bisa menangisi apa yang telah terjadi.

Dari film ini tentunya banyak pelajaran yang bisa diambil oleh penonton. Bahwa komunikasi menjadi hal terpenting yang harus tetap dijaga dalam sebuah hubungan pernikahan. Ketika komunikasi berjalan dengan baik, maka hal -- hal yang bisa menjadi sebab pertengkaran atau perselingkuhan pun bisa diatasi.

Hesti Ningrum Safitri, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun