Kenal dengan lirik lagu ciptaan Iskandar dan Mochtar Embut ini?
Nun dibalik gunung, dusun terkurung sunyi
Sukma merenung dengar senandung serunai
Sayup dendang menghimbau gita irama desaku
Insan hidup rukun memupuk cinta alam di desa
Nun dibalik gunung dengar senandung serunai
Dulu, jaman saya masih duduk di bangku SD, lagu ini sangat akrab di telinga. Saat pelajaran seni, lagu berjudul Irama Desa acapkali dinyanyikan secara koor. Suara pas-pasan saya pun tenggelam berinterferensi dengan suara teman-teman yang merdu. Lagu ini benar-benar memukau saya kala itu! Benar-benar menghanyutkan saya hingga kini, dan membuat saya rindu akan suasana kampung halaman.
Khayalan saya pun mengembara tentang sebuah desa. Gunung, sawah, sungai, kerbau, gembala, dan lumpur! Masih melekat dalam benak saya, bagaimana saya seringkali duduk di gubug di tengah sawah yang terhampar di belakang rumah. Biasanya saya dan beberapa teman sengaja membawa bekal makan siang untuk dinikmati bersama. Atau, jikalau tak ada teman yang menemani, saya memilih membawa buku favorit saya.
[caption id="attachment_179645" align="aligncenter" width="448" caption="pemandangan ini membangkitkan kenangan kecil saya (dok. Hesti)"][/caption] Kerap pula saya dan beberapa sepupu saya pergi ke sawah Mbah Kung dan Mbah Putri yang tak seberapa luas saat musin tanam atau musin panen. Sekedar menonton orang-orang bekerja di sawah, tak ikut saya menanam atau memanen padi. Mbah Putri akan mencak-mencak marah karena saya justru mengganggu kerja orang-orang...hehehe....
Di tengah sawah milik mereka ada semacam "delta" yang ditanami beberapa pohon seperti jambu biji dan nangka. Kadangkala di pinggir pematang ditanami pula jagung oleh Mbah Kung. Kalau sedang panen jagung, Mbah Putri sering memasaknya menjadi nasi jagung yang nikmat. Lauknya urap daun semanggi yang tumbuh liar di sawah dan sengaja dipetik Mbah Putri plus pepes belut yang juga ditangkap sepupu saya dari sawah. Betul-betul menu hemat nan lezat!
[caption id="attachment_179647" align="aligncenter" width="448" caption="menjelang musin tanam (dok. Hesti)"]
Mungkin karena kenangan indah akan sebuah tempat bernama sawah inilah yang membuat saya sempat bercita-cita jadi petani. Petani berijazah, alias sarjana pertanian. Tapi apa daya, UGM ternyata tidak menyediakan tempat buat saya di fakultas Pertanian. Saya nggak diterima! Kadang saya mikir, apa karena kurang mendapat restu, ya? "Kuliah di pertanian, mau jadi apa kamu?" Begitu kurang lebihnya kalimat yang sering mampir di telinga. Ketika saya jawab, jadi petani lah, komentar berikutnya adalah "petani? Kayak nggak ada cita-cita yang lain aja!".
Halaaahhhh........mak glek! Apa yang salah dengan profesi petani? Simbah saya petani, dan mereka petani hebat menurut saya. Hanya dengan sawah yang tak seberapa luas, mereka sanggup menyekolahkan 8 anaknya lumayan tinggi (untuk ukuran saat itu). Toh, menjadi petani profesional bukan sekedar menanam padi dan turun ke sawah, tapi mengelola pertanian agar bernilai tinggi.
[caption id="attachment_179648" align="aligncenter" width="448" caption="bersiap panen (dok. Hesti)"]
Banyak bukan, sarjana pertanian yang justru enggan turun ke sawah atau perkebunan? Bahkan beberapa teman saya lebih memilih bekerja di luar sektor yang tak ada hubungannya sama sekali dengan bidang akademisnya. Iri juga saya kalau membaca tentang pertanian di luar negeri. Beda jauh prestise petani di negara kita dengan di luar sana. Seakan profesi petani bukanlah sebuah pekerjaan yang layak.
[caption id="attachment_179649" align="aligncenter" width="448" caption="tanaman sayur di sisi persawahan (dok. Hesti)"]