[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Ada yang menarik ketika mencermati iklan layanan masyarakat dari Departemen Perhubungan. Kalimatnya yang berbunyi : Sepeda motor bukan untuk anak di bawah umur!", sangat pas untuk sentilan para orang tua yang mengijinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur untuk bermotor ria di jalanan tanpa pengawasan.
Sulung saya, bocah lelaki berumur 10 tahun, beberapa waktu lalu bercerita tentang teman seangkatannya, perempuan, yang sudah bisa mengendarai motor matic dan setiap sore berkeliling komplek. Saya menangkap ada rasa iri hati dalam kalimatnya, karena hingga saat ini saya belum mengijinkan dia belajar mengendarai sepeda motor. Pertimbangan saya lebih ke persoalan fisik dan psikis yang belum saatnya membawa motor sendiri. Apalagi, motor yang biasa saya gunakan sehari-hari adalah motor dengan gigi yang tentunya membutuhkan koordinasi antara kaki (ketika mengoper gigi dan mengerem roda belakang) dan tangan (untuk mengatur gas dan menekan rem depan). Bagi saya, persoalan fisik sangat penting karena berkaitan dengan keseimbangan dan gerak reflek yang dibutuhkan saat berkendara. Apalagi motor yang diproduksi secara umum didesain untuk orang dewasa atau "anak gede" bukan anak kecil. Meskipun, tak jarang saya sering mengajarinya soal bagaimana berkendara menggunakan sepeda motor secara teori, semisal untuk belok jangan lupa untuk menurunkan kecepatan dan gigi serta menyalan lampu sign.
Kembali ke persoalan pengendara motor di bawah umur. Seringkali saya melihat kecelakaan terjadi antara bocah (yang sedang senang-senangnya mengendarai motor) dengan pengendara motor lain akibat perilaku berkendara si bocah. Pernah, terjadi sebuah kecelakaan di depan sekolah tempat saya bertugas antara seorang bocah berumur sekitar 10 tahun yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dengan dua siswa saya yang berboncengan saat hendak berbelok pulang usai jam sekolah. Akibat peristiwa tabrakan ini si bocah patah kaki, persis iklan layanan masyarakat dari Dephub. Sedangkan dua siswa saya kondisinya "lebih baik", meski harus sama-sama di rawat tapi tidak sampai mengalami patah kaki.
Saya sendiri pernah pula nyaris bersenggolan dengan seorang bocah tetangga rumah, yang usianya sekitar 12 tahunan, yang kala itu memboncengkan dua orang temannya dengan motor matic. Ketiga bocah ini asyik berhahahihi di atas motor dengan kecepatan yang cukup lumayan, tanpa memperhatikan kondisi jalan. Beruntung kecelakaan tidak sampai terjadi, dan sempat pula saya nasehati dia.
Selain rawan kecelakaan, bahaya lain yang mengintai adalah kejahatan. Beberapa bulan lalu, seorang rekan kerja pernah bercerita tentang dua orang bocah yang dirampok sepeda motornya. Rekan saya ini menemui mereka sedang menangis sesenggukan menjelang magrib di pinggir jalan lingkar selatan Cilegon. Ketika ditanya, berceritalah mereka kalau sepeda motor yang dipinjamnya (entah dari siapa) diambil seorang lelaki dewasa bertampang sangar.
Kesimpulannya, iklan layanan masyarakat tersebut hendaknya diperhatikan orang tua dan tidak sembarangan mengijinkan anak-anaknya mengendarai sepeda motor sendiri. Demi keselamatan diri sendiri dan juga keselamatan orang lain bukan? Jangankan anak-anak yang kondisi emosionalnya masih labil, orang dewasa (yang seharusnya) relatif matang secara psikologis pun banyak yang berkendara seenaknya di jalan raya, dan menganggap jalanan umum seperti jalan neneknya sendiri atau sirkuit balapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H