Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki dan seorang guru Fisika yang menyukai sastra. hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemilu, “Ndaru”, dan Erupsi Gunung Slamet

27 Maret 2014   21:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sebuah desa, di kaki gunung Slamet, kala itu tahun 1988. Sebuah keriuhan tengah tergelar, pemilihan kepala desa, dimana salah satu calonnya adalah kakak perempuan saya. Di tengah pesta kecil demokrasi, ada “keriuhan” lain. Nun di sisi utara di puncak gunung Slamet, pijaran merah terlihat meski tidak terlalu jelas. Para sesepuh bilang, “Ana ndaru….wah, sing ketiban ndaru, kue sing bakal dadi lurah!”. Sebuah kalimat yang diucapkan dalam dialek Banyumasan, yang kurang lebih berarti, “Ada ndaru, yang kajatuhan ndaru yang bakal jadi lurah!”.

[caption id="" align="aligncenter" width="316" caption="Gunung Slamet dilihat dari Karangsari, Pemalang (dok. Anazkia)"][/caption]

Apa itu ndaru?

Daru atau dibaca ndaru kurang lebih bermakna keberkahan dari kahyangan. Bagi siapapun yang ketiban ndaru (kejatuhan ndaru) dianggap dialah yang akan mendapatkan berkah atau menjadi pemenang. Siapa yang kemudian ketiban ndaru saat pemilihan kepala desa tersebut, kakak saya atau rivalnya? Secara harfiah, baik kakak saya ataupun rivalnya, bisa dianggap ketiban ndaru semua. Rivalnya yang akhirnya terpilih, kakak saya usai pemilihan mendapat berkah hamil anak ke-4. Namun secara fisis, tentunya tak satupun dari keduanya ketiban ndaru gunung Slamet. Justru akan membahayakan jika “ndaru” ini benar-benar jatuh. Mengapa? Karena apa yang disebut sebagai ndaru di puncak gunung Slamet di medio Juli 1988 itu sesungguhnya adalah pijaran lava hasil erupsi gunung Slamet.

Gunung Slamet memang acapkali “memberikan berkah” berbarengan dengan pesta demokrasi. Pada 1988 tersebut, selain sedang berlangsung pemilihan kepala desa di beberapa daerah di wilayah sekitar kaki gunung Slamet, juga berlangsung Sidang Umum MPR 5 tahunan pasca Pemilu 1987. Erupsi berikutnya pun terjadi berbarengan dengan gelaran pemilu tahun 1999, 2009, dan 2014. Pemilu 2004, rupanya Slamet sedang ingin berdiam diri, tak ikut dalam keriuhan demokrasi. Maka, wajarlah jika beberapa sesepuh di daerah kakak saya tinggal menanggapi dengan santai erupsi Slamet pada awal Maret ini. “Ah, biasalah, kalau ada pergantian Presiden, biasa ikut meramaikan.” Mereka yang berpendapat seperti ini adalah kelompok masyarakat yang mengandalkan ilmu titen. Titen alias mengamati kebiasaan/karakteristik gunung, memahami, sehingga tahu apa yang harus dilakukan. Bukankah metode yang diterapkan oleh PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) pun sesungguhnya adalah ilmu titen? Bedanya, jika para masyarakat awam di sekitar gunung hanya niteni tanda-tanda alam yang kasat mata saja, maka PVMBG selain pengamatan mata didukung dan dikorelasikan dengan keilmuan dan teknologi.

Tentu tidak semua masyarakat percaya begitu saja prinsip niteni ini. Bencana alam yang terjadi secara beruntun, sempat pula melunturkan kepercayaan terhadap ilmu titen. Ditambah hembusan berita (hoax) yang marak dan sangat cepat tersebar melalui teknologi internet, semakin membuat sebagian masyarakat di sekitar dihantui kecemasan dan panik. Bahkan, seringkali informasi resmi dari PVMBG didramatisir oleh pihak-pihak tertentu. Seperti saat terjadi letusan Kelud Pebruari lalu. Masyarakat di sekitar Slamet sempat dibuat panik, demi mendengar letusan Kelud “menular” ke Slamet. Betul memang, tak lama kemudian Slamet “muntah”. Tapi berkali-kali para geolog dan vulkanolog menegaskan, setiap gunung memiliki karakteristik sendiri-sendiri, tidak terkait antara satu dengan yang lain. Status kegunungapian tak jarang membuat orang justru cemas. Sebagai contoh, status gunung Anak Krakatau saat letusan gunung Kelud kemarin. Banyak yang mengira, status waspada Anak Krakatau baru disematkan saat itu, padahal status ini sudah diberlakukan sejak penghujung 2012 dan hingga kini belum diturunkan menjadi level siaga. Level I, level II, dan seterusnya, juga masih banyak yang awam memahami, sehingga muncul istilah rancu. Anak Krakatau yang statusnya waspada (level II), dipahami sebagai waspada pada tingkat II dan seolah ada istilah waspada level I.  Yang benar bagaimana? Kalau level II ya berarti waspada, level III itu siaga, dan level IV berarti awas. Sedangkan jika dikatakan sebagai level I, artinya berstatus aktif. Memang, penulisan status gunung api diikuti dengan tingkat level dalam angka romawi. Aktif (level I), waspada (level II), siaga (level III), dan awas (level IV).

Frasa kata meletus pun acapkali kelewat didramatisir. Meletus identik dengan letusan dahsyat yang mampu meluluhlantakan segalanya. Padahal, terdapat bermacam tipe letusan gunung api. Mulai dari jenis material yang dilontarkan, intensitas letusan, hingga kekuatan letusan. Berdasar kekuatannya dibagi dari letusan lemah hingga letusan kuat. Lemah kuatnya letusan tergantung pada jumlah kandungan magma dalam tubuh gunung yang hendak dimuntahkan. Dalam vulkanologi ada istilah skala VEI (Volcanic Explosivity Index), sebuah skala yang digunakan untuk mengukur kekuatan letusan dan jumlah lontaran materialnya. Singkatnya, belum tentu sebuah letusan gunung menghancurleburkan wilayah sekitarnya dengan lontaran material yang dahsyat. Letusan inilah yang sesungguhnya terjadi pada gunung Slamet awal Maret ini dan sebelumnya. Sebuah letusan yang masuk kategori lemah, dengan lontaran material relatif sedikit dan tinggi lontaran tidak tinggi, sehingga membuat material vulkaniknya hanya jatuh di sekeliling badan dan di kawah gunung. Dalam vulkanologi diistilahkan sebagai letusan Strombolian, letusan yang membuat tubuh gunung kian meninggi. Letusan Strombolian mengindikasikan kecilnya tekanan gas vulkanik yang mengakibatkan letusan tergolong kecil.

Menarik jika kemudian kita mengkaji tipe letusan gunung Slamet sejak letusan tahun 1772 (letusan yang pertama tercatat dalam literatur). Hampir tiga abad terakhir, letusan gunung Slamet termasuk letusan yang biasa-biasa saja. Relatif kalem dibandingkan letusan gunung Kelud atau Merapi. Meskipun dianggap mungkin pernah meletus hebat pada ribuan atau puluhan ribu tahun yang lalu. Mungkinkah ada kaitan dengan penyematan nama “Slamet” yang berasal dari kata Salamatan yang berarti keselamatan, sehingga gunung ini (diharapkan) selalu memberi keselamatan? Entahlah. Yang jelas, sebelum menyandang nama Slamet, gunung ini bernama Gunung Agung yang juga disebut Pasir Luhur seperti tertulis dalam naskah sunda kuno. Referensi Letusan Gunung Slamet, Antara Mitos dan Realitas Ukuran Kekuatan Letusan Gunung Api Status Gunung Berapi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun