"Jangan sampai nggak mudik, kalau nggak mau tensi Ibu naik!" Begitu ancaman adik saya, saat kemarin saya mengajukan opsi tidak mudik tahun ini. Demi mendengar itu, saya manut, tetap mudik seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang saya merantau, hidup jauh dari orang tua dan kampung halaman, hanya sekali tidak mudik lebaran. Itupun karena alasan kondisi kesehatan saya, yang kala Idul Fitri 2001 tengah hamil muda. Kehamilan anak pertama yang ditunggu dan sempat bermasalah hingga mengharuskan saya bedrest selama 2 minggu. Meski sempat ditangisi karena tak mudik, alasan ini tetap bisa dimaklumi.
Bila ada pendapat, mudik tidak harus saat lebaran, saya seratus persen sepakat. Hanya saja kalimat itu perlu ditambahkan menjadi, mudik tidak harus saat lebaran, tapi saat lebaran harus mudik. Keharusan ini bersifat fardhu alias wajib bagi saya. Mengapa? Ilustrasi di atas sudah cukup menggambarkan seberapa besar makna mudik bagi saya. Demi Ibu yang hari-harinya sering sepi sejak anak-anaknya dewasa, keluar dari rumah dan membangun kerajaan kecilnya masing-masing. Kesepian itu kian menjadi sejak Bapak berpulang kepada Sang Pemberi Hidup. Dulu pun, saat Bapak masih ada, kewajiban mudik menjadi sebuah ritual yang tak boleh dilewatkan. Bukan semata-mata karena alasan rasa sepi pada hati Bapak dan Ibu, tapi ada alasan kondisi Bapak yang stroke yang membuat beliau tak mampu beraktivitas normal. Berkumpulnya anggota keluarga saat lebaran seringkali menjadi "obat mujarab" penambah stamina kondisi Bapak. Binar bahagia selalu terpancar saat satu per satu anak dan cucunya berdatangan.
Bukankah semua itu bisa dilakukan di luar lebaran? Betul, tapi tetap saja berbeda makna. Meskipun pertemuan dengan seluruh keluarga bisa dilakukan di luar lebaran dan tetap menjadi sumber kegembiraan tersendiri, ada satu ritual wajib yang selalu dilaksanakan saat kumpul lebaran, sungkeman. Â Tradisi saling meminta maaf dari yang lebih muda kepada yang lebih tua yang memberikan kesan tersendiri. Kesan yang didapat tidak akan sama jika sungkeman ini dilakukan di luar lebaran. Di saat sungkeman inilah biasanya permohonan maaf yang disampaikan betul-betul merasuk di hati, hingga seringkali deraian air mata berjatuhan. Sedangkan bagi anggota keluarga yang masih anak-anak, kesan mudik lebaran ditambah dengan "ritual bagi-bagi angpau". Bukan seberapa besar jumlah yang didapat, tapi seberapa riuhnya bagi-bagi angpau ini karena ada peraturan tak tertulis, mereka yang berhak mendapat angpau adalah yang belum menikah, belum bekerja dan masih sekolah/kuliah.
Mudik selalu memberikan secercah kebahagiaan buat yang datang ataupun tuan rumah. Terjebak macet berjam-jam, berebutan mencari tempat untuk tidur kala tiba di tempat tujuan, menjadi tambahan warna-warni mudik lebaran yang tetap saja selalu mengesankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H