Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Bagai Surya

14 Februari 2012   02:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[KCV] Bagai Surya

Kolaborasi : Hesti Edityo dan Wahyu Jati Anggoro [No. 97]

[caption id="" align="aligncenter" width="484" caption="Demchenko Maxim "][/caption]

Namanya Surya, Surya Lim lengkapnya, nama yang dia kenalkan padaku dulu. Awalnya aku adalah pelanggan di toko komputer miliknya. Sosoknya yang ramah dan seumuran denganku, membuat  hubungan kami tak lagi sebagai penjual dan pembeli, tapi berlanjut sebagai sahabat.

Surya, sosok bermata sipit khas etnis Tionghoa tentunya tak asing dengan dunia niaga. Tekad dan semangat yang tak pernah padam bersinar menjadi ciri khasnya. Kegigihan semacam ini memang menjadi ciri khas darah Cina, turun temurun. Dan pada awalnya kupikir usaha Surya juga merupakan usaha keluarga turun temurun, tapi nyatanya dugaanku salah besar.

“Aku pakai uang masuk kuliah di kedokteran untuk buka usahaku yang pertama di Bandung tanpa seijin Papaku. Papaku marah besar saat tahu anaknya tak pernah mendaftar di kedokteran seperti harapannya....”

Si Kepala Batu, julukan yang kuberikan padanya atas kebandelannya. Lelaki keras kepala yang memutuskan pergi dari keluarganya, meninggalkan usahanya yang sudah berkembang karena pertengkaran besar kembali terjadi antara dia dan orang tuanya.

“Aku bilang pada Papaku bahwa perempuan yang ingin aku lamar adalah seorang guru TK yang tempat kerjanya tak jauh dari tokoku. Dan papaku marah karenanya....”

“Papaku baru tahu kalau aku menjadi mualaf saat dia melihat sosok Raisha yang berjilbab...”

Aku pun sempat terkejut mendapati Surya seorang mualaf. Saat itu dia baru saja selesai shalat Jumat di masjid kampus, dan dari situlah kemudian cerita panjang hidupnya mengalir dari mulutnya ke telingaku.

“Aku putuskan pergi karena marah dengan keadaan. Aku marah dengan Papaku yang tak pernah setuju dengan semua tindakanku, aku kecewa dengan orang tua Raisha yang memaksa Raisha menikah dengan lelaki lain, aku kacau sekali saat itu....”

Lima tahun telah berlalu sejak Surya pergi dari keluarganya. Dalam kurun waktu itu tak sekalipun dia menginjakkan kaki di rumah orang tuanya di Bandung meski sekedar untuk beranjangsana. Egonya terlalu besar dan keras kepala untuk berbaikan dengan Papanya.

***

Pagi ini, 13 Februari, kali ini aku menyambangi ulang tahun toko komputer Surya yang kedua. Setelah pergi dari Bandung, ia mengais keberuntungan di Ibukota. Semua pekerjaan dijalaninya, mulai jadi kuli panggul, MLM, sales obat, penjaga toko, hingga akhirnya punya modal untuk mendirikan toko komputer seperti dulu.

Tapi saat ini bukan keceriaan yang terpancar dari wajahnya. Surya duduk di depanku dengan kesedihan membayang di wajahnya. Tak nampak sorot mata yang menyiratkan keteguhan sikapnya selama ini. Lelaki itu terlihat terpuruk.

“Mamaku sakit, Win. Sejak aku pergi dia kerap pingsan, jantungnya bermasalah. Pagi tadi Pak Marno, sopir Papaku datang dan bilang kalau kondisi Mamaku kian buruk....”

Secepat membalik telapak tangan, mendung tiba-tiba menyelimuti Jakarta. Langit sepertinya telah sukses menerka suasana hati Surya. Tak ada sinar di matanya, tatapannya seolah kosong, sejalan dengan angin yang berhenti berhembus.

Sudah beberapa menit kami terpaku dalam diam. Kuberanikan diri memecah sunyi, dengan menyodorkan kaleng soda kesukaannya.

“Terimakasih Win.”

“Aku boleh tahu bro, apa kesuksesan terbesar dari jalan hidup yang kau pilih saat ini?”

“Kau gila Win. Jelas-jelas aku sedang tidak bisa berpikir...”

Kusodorkan ia brosur ‘Lim Computer’, miliknya. Wajahnya nampak kebingungan memandang secarik kertas promo diskon sebagai perayaan genap dua tahun usahanya itu.

“Ini, tidak ada kaitannya dengan harga dirimu. Toko ini bukan rumahmu. Lima tahun kesuksesanmu tidak ada harganya bila dibanding murka Papamu, tangis Mamamu, disetiap jengkal harinya. Dan hal ini akan terus berlaku disetiap bertambahnya hari, kecuali kamu bro, kecuali kamu mau menjadi pembedanya.”

“Lalu kau suruh aku pulang begitu saja Win? Bertemu Papa yang bilang aku anak durhaka? Ah, dan lebih lagi aku tak kuat melihat Mama, ia selalu berusaha menjadi penengah kami berdua...”

“Sebaiknya kau berhenti jadi laki-laki,” sahutku pendek.

Matanya terbelalak. Mulut sempat suara keluar dari mulutnya yang mulai terbuka, aku mulai menguliahinya. Ya, dan aku sudah benar-benar tidak tahan dengan si kepala batu ini.

“Kau pindah agama hanya untuk Raisha, ha? Kemana logika yang kau agung-agungkan itu? Kau hanya berpikir pakai kelaminmu saja!”

“Cukup Win! Jangan bawa-bawa Raisha!” ia beranjak berdiri, wajahnya mulai panas memerah. Egonya mulai terusik. Bagus, setidaknya ia berganti emosi, batinku.

“Surya! Aku sudah dengar semuanya, aku tak mau kenal dengan lelaki lemah sepertimu. Kau bahkan tidak berani melawan egomu sendiri!” Tiba-tiba Nisa muncul dihadapan kami berdua.

Nisa, gadis manis berjilbab dengan gambaran mirip Raisha, adalah pacar Surya. Mereka baru beberapa bulan dekat dan mulai mengenal satu sama lain. Surya sempat bercerita kepadaku, bahwa ia menyembunyikan masalah keluarganya pada Nisa. Ia berdalih, karena waktunya tidak tepat. Aku sudah sempat bilang padanya, tidak akan pernah ada waktu yang berar-benar tepat, pada akhirnya yang ada tidak ada waktu lagi. Tapi dasar egonya sekuat tekadnya, tidak bergeming.

Adegan berikutnya adalah Surya yang mengejar Nisa, memohon-mohon, khas lelaki yang kalah karena salah. Dan berakhir dengan Nisa yang pergi meninggalkan Surya, oh bukan, ego Surya. Kini dimataku Surya tak lebih dari seonggok ego yang kalah, pecundang tanpa hasrat, kompas yang berputar tanpa arah, yang terbungkus dalam tubuh Cina. Tak tega juga melihatnya. Kuhampiri Surya yang tertunduk lesu.

“Aku harus gimana Win?” nada egoisnya telah hilang.

“Bro, ini saran terakhirku, kalau kau benar-benar hilang arah, sembayanglah, sholatlah. Atau lakukan apapun yang bisa mendekatkanmu pada Tuhan, yang kau percaya. Mintalah petunjuk.”

Surya hanya mengangguk perlahan. Bola matanya mulai mengkristal, menggerus batu didalam kepalanya.

“Aku tak tahu, sebagai mualaf sudah seberapa dalam kau belajar. Tapi dalam Islam diajarkan bahwa kita tidak boleh bermarahan, lebih-lebih tanpa bertegur sapa, dengan orang lain selama tiga hari. Maaf itu selalu diikuti oleh cinta, bukan hina.”

***

Malam hari, 14 Februari, aku mendengar kabar dari Surya, bahwa ibunya telah meninggal dunia. Dan aku diminta menjemput Nisa, untuk mengantar kerumah orang tuanya esok pagi. Nisa ingin menemui Surya, dan keluarganya.

Belakangan baru aku tahu, setelah kejadian didepan toko komputer itu, Surya telah memutuskan untuk bertemu dengan kedua orangtuanya. Maaf terucap dari mulutnya. Dan tanpa disangka-sangka, kedua orangtuanya tersenyum memaafkan. Ia masih sempat berbincang hangat dengan Mama-Papanya, tertawa bersama, sampai malaikat menjemput satu diantaranya.

Ya, Surya telah mengajarkanku arti cinta sesungguhnya. Cinta sesederhana surya, yang ada kalanya tenggelam direnggut senja, namun tak pernah ingkar untuk bersinar esok harinya. Bahwa cinta selalu punya kesempatan kedua.

----------------

Untuk membaca karya peserta lainnya, silahkan menuju akun Cinta Fiksi dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Kolaborasi Cerpen Valentine

Note : Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun