Oleh : Hesti Edityo, No Peserta : 51
Di seberang sebuah restoran cepat saji, seorang bocah belasan tahun berdiri termangu. Tatap matanya memandang lurus ke arah pintu restoran, sementara tangan kanannya sibuk meremas selembar uang di dalam saku celananya.
Bocah itu terlihat masygul, sisi hitam dan sisi putih dalam hatinya tengah bertarung.
Sisi hitam : Ayo, masuklah! Tunggu apa lagi?! Sebentar lagi kawan-kawan sekelasmu akan berdatangan ke restoran itu dan berbuka puasa di sana. Mereka pasti terkejut melihatmu juga di sana!
Sisi putih : Kau yakin memilih berbuka puasa di dalam sana, dan tidak bersama ibu dan adik-adikmu?
Sisi hitam : Ah, hidangan puasa di rumah biasa-biasa saja. Begitu-begitu saja, nyaris sama seperti kemarin. Bosan!
Sisi putih : Apa kau tega menikmati makanan yang kau beli di restoran itu sendirian, sedangkan ibu dan adik-adikmu makan seadanya?
Sisi hitam : tapi uang yang kau pakai uangmu sendiri, hasil keringatmu sendiri. Honor lukisanmu! Kau berhak menikmatinya tanpa harus memikirkan orang lain! Bukankah kau penasaran seperti apa rasanya makan di restoran itu? Gengsimu akan naik di mata teman-temanmu!
Sisi putih : pikirkanlah! Apakah selama ini ibu dan adikmu berlaku egois? Ingatkah kau saat dengan rela hati adikmu memberikan tabungannya untuk membeli peralatan melukismu?
Sisi hitam : Ah, tapi kau sudah membayarnya dengan menraktir mereka bakso Pak Warso saat kau memenangkan lomba melukis itu. Artinya impas!
Sisi putih : Apakah kau bisa mendapat juara jika adikmu tak merelakan uangnya untukmu? Kau menang karena kebesaran hati adikmu, mendahulukan kepentinganmu dibandingkan keinginannya.