[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="photo by Arif Subagor"][/caption]
Menatap malam, hening di tengah keramaian. Sang bulan bersinar di ujung atas pencakar langit. Oh, bulan, aku melihatmu tersenyum, menyampaikan kabar rindu pada Mamak.
"Tinggallah denganku, Mak. Di sana lebih mudah membawa Mamak berobat kemana pun, dan aku bisa tenang karena Mamak ada di dekatku." ajakku padanya seminggu yang lalu, saat aku pulang menjenguknya yang tengah sakit. Sayang, perempuan renta yang seharusnya aku panggil Nenek itu menolak ajakanku.
"Aku ra pa-pa, Nduk! Mamak itu puluhan tahun tinggal di sini, dan Mamak ingin tetap di sini sampai ajal menjemput..."
Aku hanya menangis sesunggukan memeluknya. Sungguh, tiba-tiba aku sangat takut kehilangan perempuan yang bagiku adalah seorang ibu sekaligus ayahku. Perempuan yang begitu tulus merawatku sejak kecil, perempuan yang selalu ada untukku saat aku membutuhkannya. Baik dalam suka atau sedihku. Perempuan yang siap membelaku dan mengobati luka hatiku. Seperti dulu, kala aku terpuruk.
"Kau percaya ibumu seperti itu, Nduk?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Mamak, begitu mendapati aku menangis di sudut rumah. Kala itu, aku hanya seorang gadis kecil berumur 12 tahun. Beberapa teman bermainku mendadak mengejekku, "Anak buangan! Anak sial yang nggak diakui!"
Aku terluka, sangat terluka mendengarnya, dan berlari pulang sekencang-kencangnya, menangis hingga dadaku terasa sesak dan sakit.
"Tidak ada seorang ibu yang tega membuang anaknya! Juga ibumu! Kau bukan anak buangan, Nduk!"
"Tapi kenapa Ibu pergi meninggalkan aku, Mak? Ibu jahat!!" tangisku kian kencang, tubuhku terguncang. Mamak, seperti biasa, memelukku. Memberikan ketenangan padaku dengan belaian tulusnya.
"Nduk, kau lihat bulan di atas sana?"
Air mataku masih terus menetes, tapi kuikuti arah telunjuk Mamak. Bulan sabit menyembul dari balik awan, memancarkan sedikit lengkung garisnya.