Filosofi Ki Hajar Dewantara, yang dikenal dengan konsep "Pratap Triloka," memiliki tiga prinsip utama yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan). Konsep ini menekankan pentingnya seorang pemimpin menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya dan harus menunjukkan integritas, kejujuran dan tindakan yang konsisten dengan nilai-nilai yang dianut. Seorang pemimpin tidak hanya berada di depan, tetapi juga di tengah-tengah orang yang dipimpinnya untuk membangun semangat dan motivasi. Dalam konteks pengambilan keputusan, ini berarti pemimpin harus melibatkan tim atau bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Setelah keputusan diambil, pemimpin harus memberikan kepercayaan kepada timnya untuk melaksanakan keputusan tersebut, sambil tetap memberikan bimbingan dan dorongan jika diperlukan.
Nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita berfungsi sebagai dasar bagi prinsip-prinsip yang kita gunakan dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai tersebut tidak hanya mempengaruhi keputusan itu sendiri tetapi juga bagaimana kita menjalankan keputusan tersebut dan bagaimana kita merespons hasil dari keputusan tersebut. Oleh karena itu, memahami dan mengembangkan nilai-nilai yang positif adalah kunci untuk menjadi pengambil keputusan yang efektif dan berintegritas. Saat mengambil keputusan, kita sering harus membuat pilihan antara berbagai opsi yang mungkin semuanya benar tetapi bertentangan (dilema etika). Nilai-nilai tersebut dapat membantu kita menentukan prioritas di antara dua pilihan tersebut atau membantu kita menemukan opsi lainnya (opsi trilemma).
Kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan, terutama ketika dihadapkan pada dilema etika. Dilema etika sering kali melibatkan konflik antara berbagai kepentingan atau perspektif. Seorang guru yang memiliki empati yang tinggi dapat lebih memahami bagaimana keputusan mereka akan mempengaruhi orang lain, termasuk murid, rekan kerja, dan komunitas sekolah. Dengan memahami perasaan dan kebutuhan orang lain, guru dapat membuat keputusan yang lebih seimbang dan adil, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap semua pihak yang terlibat. Kemampuan ini tidak hanya mendukung pengambilan keputusan yang efektif, tetapi juga membangun lingkungan belajar yang lebih sehat dan mendukung bagi semua pihak yang terlibat.
Pengambilan keputusan yang tepat memiliki dampak yang signifikan dalam menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman. Keputusan yang tepat tidak hanya menyelesaikan masalah atau memenuhi tujuan tertentu, tetapi juga memperkuat dinamika sosial dan emosional dalam suatu lingkungan, baik itu di sekolah, tempat kerja, atau komunitas.
Tantangan yang muncul di lingkungan sekolah terkait dilema etika pada kedisiplinan murid dan guru. Menghadapi tantangan dalam pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika memang tidak mudah. Tantangan-tantangan tersebut sering kali terkait dengan perubahan paradigma dalam lingkungan tertentu. Sebagai contoh tantangan ketika menghadapi dilema antara menegakkan disiplin dengan menghindari tindakan kekerasan yang dapat melanggar hak asasi murid. Sementara masih banyak pendidik yang berkeyakinan bahwa penegakan disiplin murid harus dilakukan dengan cara “keras” berupa hukuman fisik, misal, dengan menjemur murid di lapangan di siang hari. Kemudian penegakkan disiplin murid yang kerap kontra produktif dengan apa yang dilakukan guru. Sebagai contoh, murid diberikan sanksi apabila terlambat datang ke sekolah, tetapi masih ada guru yang juga datang terlambat atau menunda-nunda masuk ke dalam kelas dengan sengaja. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri untuk proses penegakkan kedisplinan murid mengingat murid masa kini lebih kritis dalam menyikapi kondisi.
Pengambilan keputusan dalam pembelajaran yang memerdekakan murid memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap proses belajar mengajar. Murid akan lebih termotivasi ketika mereka merasa memiliki kendali atas pembelajaran mereka sendiri. Keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran yang memerdekakan, seperti pemecahan masalah, komunikasi, dan kolaborasi, sangat relevan dengan tuntutan dunia kerja saat ini. Untuk dapat memutuskan pembelajaran yang tepat untuk murid kita yang berbeda-beda kita dapat memperhatikan minat, gaya belajar, kekuatan dan kelemahan murid melalui interaksi sehari-hari di kelas yang dibantu dengan asesmen diagnostik. Kita juga dapat melakukan wawancara dengan murid, baik secara individu maupun kelompok untuk mengetahui lebih dalam tentang minat, tujuan, dan kesulitan belajar yang mereka hadapi.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran, baik besar maupun kecil, dapat membentuk lingkungan belajar, budaya sekolah, dan pada akhirnya, membentuk karakter serta masa depan para siswa. Keputusan ini akan mendorong murid untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif, serta mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan di dunia kerja yang semakin kompleks. Untuk guru sendiri, keputusan yang diambil dapat mendorong guru untuk menjadi lebih inovatif dan kreatif dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid. Penting bagi guru untuk mengambil keputusan yang bijaksana, berdasarkan data, dan berorientasi pada kepentingan murid. Dengan demikian, guru sebagai pemimpin pembelajaran dapat menciptakan lingkungan belajar yang optimal dan membantu murid mencapai potensi terbaik mereka.
Filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara, dengan konsep ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, ing pinggir mbangun karsa, memberikan landasan kuat bagi pendidikan yang berpusat pada murid. Konsep ini, jika dikaitkan dengan nilai-nilai kebajikan universal, pembelajaran sosial dan emosional, serta pengambilan keputusan, membentuk suatu kesatuan yang holistik dalam pengembangan peserta didik. Seorang pendidik harus menjadi contoh atau teladan bagi muridnya. Ini berarti pendidik harus memiliki nilai-nilai kebajikan seperti kejujuran, integritas, dan empati. Pemimpin pembelajaran harus menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai kebajikan. Keputusan-keputusan yang diambil harus mencerminkan nilai-nilai tersebut. Dalam pengambilan keputusan, nilai-nilai kebajikan universal menjadi pedoman. Misalnya, ketika dihadapkan pada dilema etika, seseorang yang memiliki nilai-nilai kebajikan akan cenderung memilih tindakan yang adil, jujur, dan bertanggung jawab. Dengan mengintegrasikan semua elemen ini, pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, mampu beradaptasi dengan perubahan, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Pada modul 3.1, materi yang dipelajari berkaitan dengan dilemma etika, bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan keputusan dengan berprinsip pada nilai-nilai kebajikan. Dilema etika merupakan situasi di mana seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama benar namun bertentangan. Misalnya, seorang guru memiliki anak yang sekelas dengan muridnya. Guru tersebut ingin memperlakukan semua muridnya secara adil, tetapi juga ingin memberikan perhatian khusus kepada anaknya.. Sedangkan bujukan moral, pilihannya lebih jelas: antara benar dan salah. Contoh orang tua siswa atau pihak sekolah memberikan tekanan kepada guru untuk memberikan nilai yang lebih tinggi atau memuluskan kelulusan siswa, meskipun prestasi siswa tersebut tidak memenuhi kriteria. Dalam hal ini, ketika kriteria sudah ditetapkan maka terlihat manakah yang benar dan salah.