Disiplin kerap dikaitkan dengan hukuman, tata tertib, dan kepatuhan pada peraturan. Betulkah penerapan disiplin positif harus identik dengan hukuman dan kepatuhan yang memunculkan ketidaknyamanan? Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa, dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat 'self discipline' yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470). Artinya, disiplin di sini hendaknya muncul dari diri sendiri.
Menurut Diane Gossen dalam buku Restructuring School Discipline terdapat tiga motivasi perilaku manusia.
- Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Orang yang memiliki motivasi perilaku untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan yang dapat berpengaruh pada fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka bila mereka tidak melakukan tindakan yang dimaksud. Motivasi yang muncul di sini bersifat eksternal.
- Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang yang memiliki motivasi perilaku untuk mendapatkan pujian atau imbalan dari orang lain, yang artinya bersifat eksternal.
- Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Orang dengan perilaku ini melakukan suatu tindakan karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai dan memiliki motivasi internal untuk melakukan disiplin positif.
Tujuan disiplin positif di sekolah adalah menanamkan motivasi pada diri anak didik kita agar menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya tanpa terpengaruh adanya hukuman atau hadiah. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai kebajikan yang diterima secara universal. Dalam hal ini kita ditunjukkan keterkaitan filosofi pendidikan KHD yang mengajarkan bahwa seorang guru hendaknya menuntun, termasuk menuntun kesadaran bersikap disiplin.
Penerapan disiplin juga kerap dikaitkan dengan kontrol yang dilakukan oleh guru. Dr. William Glasser dalam Control Theory/Choice Theory menyatakan beberapa miskonsepsi kontrol yang dilakukan guru. Secara tak sadar, guru kerap melakukan upaya kontrol yang keliru. Sebagai contoh, guru menggunakan kritik untuk mengontrol murid menuju identitas gagal. Rasa bersalah yang muncul justru membuat murid memandang diirnya buruk. Pada hakekatnya, pemegang kontrol atas semua tindakan adalah diri sendiri. Ketika seorang guru terlihat mengontrol seorang murid, yang terjadi adalah murid tersebut mengijinkan gurunya untuk mengontrol dirinya dan bentuk kontrol guru dipilih sebagai kebutuhan dasarnya.
Dalam menerapkan disiplin di sekolah, guru perlu meninjau kembali apakah penerapan disiplin ini efektif, berpusat pada murid, memerdekakan, dan memandirikan murid? Terdapat lima posisi kontrol yang diterapkan guru ataupun orang tua, yaitu, Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau, dan Manajer.
Seorang murid yang melakukan perbuatan bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar aturan, sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Terdapat lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi seperti ditunjukkan diagram berikut ini.
Kebutuhan Bertahan Hidup
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup, misalnya, kesehatan, rumah, dan makanan. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman.
Kasih Sayang dan Rasa Diterima
Kebutuhan kasing sayang dan rasa diterima (love and belonging) merupakan kebutuhan psikologis yang meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang, dan kebutuhan untuk diterima dalam suatu kelompok.