Saya memang tak mengikuti berita Thai Cave Rescue sedari awal. Maklum, pemberitaan tentang Thai Cave Rescue ini sepi di televisi kita. Justru kabar ini pertama kali saya ketahui dari Facebook dan Twitter (yang jarang saya buka).
Reaksi saya sama dengan kebanyakan orang yang mengikuti berita ini. Deg-degan, terharu, cemas, bahagia dan, yeah, ikut mbrebes mili alias berkaca-kaca. Sebagai seorang ibu, refleks saya membayangkan perasaan orang tua para bocah yang usianya sama dengan anak pertama dan kedua saya.
Apalagi keempat anak saya lelaki dan mereka pun suka bermain bola. Saya bisa bayangkan kecemasan seperti apa yang dialami para orang tua itu menanti kabar anaknya yang tak kunjung pulang, begitu ditemukan pun tak bisa segera dipeluk.Â
Jangankan menanti anak yang berhari-hari tak nampak di depan mata dalam situasi yang membahayakan jiwa, wong sulung saya jam 11 malam belum pulang dari kerja kelompok dengan teman-temannya saja air mata saya berderai-derai. Cemas tak karuan karena tak mengabari pulang terlambat dan ngomel berkepanjangan ketika dia pulang.Â
Tapi, ada satu sikap yang rupanya salah saya bayangkan. Andai saya yang jadi orang tua salah satu anak-anak tersebut, bukan hanya sedih dan cemas, tapi marah. Ya, marah, kenapa anak-anak ini masuk gua, kenapa pelatihnya yang seharusnya bertanggung jawab dengan keselamatan mereka malah ngajakin ke gua?
Kenapa anak-anak ini tak segera dikeluarkan begitu ditemukan dua penyelam Inggris? Kenapa orang tua tak bisa segera menemui anak-anak ini begitu keluar gua? Akan ada banyak pertanyaan mengapa yang mungkin saya lontarkan dengan kemarahan. Kemudian ujungnya mencari kambing hitam, mencari pihak yang harus saya salahkan. Untuk apa? Ya, untuk dilimpahkan rasa berdosa bila anak-anak ini kenapa-kenapa.
Saya termangu, malu, dan jujur menangisi diri sendiri begitu membaca, orang tua para bocah justru tak menyalahkan siapa pun. Alih-alih menumpahkan amarah dan kesedihan, mereka justru menebarkan cinta yang tulus yang membuat para bocah dan Ekkapol, sang asisten pelatih ini tetap survive belasan hari di dalam gua nan gelap. Jutaan doa dan cinta yang mereka rasakan berperan penting menumbuhkan semangat mereka untuk berjuang dan selamat.Â
Perasaan cinta yang sungguh indah. Seindah kekompakan ribuan relawan dan para penyelamat untuk menolong mereka atas dasar cinta. Tak ada keegoisan untuk didahulukan meski mungkin di hati kecil mereka berharap demikian, pun tak ada sikap jumawa menganggap sebagai yang paling penting.Â
Tak ada pahlawan kesiangan yang kemudian mengaku-aku paling berjasa. Solidaritas yang rasanya terkadang seperti mulai berkurang di sekeliling saya (dan semoga hanya perasaan saya belaka).
Lantas apa hubungannya Thai Cave Rescue ini dengan Zohri?
Berita tentang Lalu Muhammad Zohri yang memenangi lomba lari 100 meter kejuaraan dunia atletik U-20 di Tampere, Finlandia, membanjiri linimasa beberapa hari ini. Bangga? Tentu saya ikut bangga dan ikut kepo... :D. Googling kesana kemari mencari tahu siapa Zohri, karena memang baru kali ini saya mendengar namanya.Â