Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki dan seorang guru Fisika yang menyukai sastra. hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pak Tentara, Antri, Dong!

7 November 2011   10:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:58 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang tadi, tak seperti hari Senin biasanya saya bisa pulang lebih cepat. Ingat ada amanat dari suami, sebelum menuju ke rumah saya belokkan motor ke sebuah bank pemerintah yang tak begitu jauh dari komplek rumah. Saat masuk, pegawai bagian teller tak ada di tempat, masih istirahat siang rupanya. Saya lihat jam masih kurang beberapa menit dari pukul satu siang.

Seperti biasa, saya masukkan slip setoran yang sudah diisi dengan identitas dan nominal setoran ke dalam tempat khusus sebagai tanda antrian. Sebelum saya, ada tiga orang yang sudah lebih dulu mengantri. Tak lama, datang seorang lelaki muda berseragam tentara, masih teringat jelas nama yang terpampang di bajunya. Saya lihat Pak Tentara ini sempat memeriksa slip para nasabah dan terlihat seperti (sedikit) gelisah.

Pukul satu lewat sekian menit, Mbak pegawai teller kembali ke meja tugasnya dan mulai memanggil nama-nama nasabah sesuai yang tertera di antrian slip. Nama pertama dipanggil, seorang ibu. Pak Tentara ini ikut pula maju ke depan teller dan berdiri di sana. Padahal seingat saya, si Ibu ini datang tidak bersamaan dengan Pak Tentara. Aneh, pikir saya, dan mulai timbul sedikit kecurigaan di kepala saya. Jangan-jangan....

[caption id="attachment_147277" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi- Antrian/Admin (Kompas/Bahana Patria)"][/caption]

Ah, benar saja! Usai si Ibu melakukan transaksi, Pak Tentara ini tanpa sungkan dan malu langsung menodong teller dengan pertanyaan, "Mbak, saya bisa duluan? Soalnya banyak, nih...."

Deg! Entah kenapa pula mendadak ada perasaan tak suka dengan gayanya yang menyerobot seperti itu. Tanpa saya duga, teller tak serta-merta mengabulkan permintaannya, meski Pak Tentara terlihat sedikit memaksa. Dengan tegas dan bersuara lantang, teller mempersilakan Pak Tentara untuk tetap mengantri, kecuali para nasabah sebelumnya tidak keberatan jika Pak Tentara didahulukan. Dua nasabah sebelum saya, seorang laki-laki muda sederhana dan seorang bapak paroh baya, terlihat mengangguk mengiyakan meski terlihat terpaksa. Giliran saya ditanya sang teller, "Ibu, tidak keberatan kalau Bapak ini saya dahulukan?"

Tak langsung saya jawab, dan justru saya ajukan pertanyaan balik, "Berapa transaksi, ya, Mbak? " Saya memang sempat melihat Pak Tentara menyodorkan berlembar-lembar slip.

"Ada enam transaksi, Bu!"

Enam transaksi? Wah, sama saja dengan enam antrian nasabah itu, dan kami bertiga "dipaksa" untuk mendahulukannya hanya karena dia berseragam (tentara)? Saya katakan pada Pak Tentara, "Maaf, Pak, bagaimana kalau tetap saya dulu sesuai antrian? Saya hanya satu transaksi, kok, tidak sampai enam seperti Bapak. Bapak tidak sedang buru-buru, bukan?"

Belum juga Pak Tentara menjawab, dua nasabah sebelum saya meralat ucapannya, "Wah, kalau begitu saya juga keberatan, Mbak! Saya juga cuma mau nabung aja, nggak banyak pula jumlahnya!"

Dikeroyok seperti itu, Pak Tentara tak berkutik, dan tak memaksa teller lagi dan memilih meninggalkan meja teller. Tak sampai sepuluh menit, nama saya dipanggil kembali. Proses transaksi atas nama saya hanya berlangsung beberapa menit, hingga kemudian nama Pak Tentara dipanggil oleh teller.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun