Pameran batik Indonesia yang diadakan sejak tanggal 1 Mei 2014 di Museum Schloss Schoenebeck Bremen, Jerman telah berakhir pada hari Minggu, 16 Juni 2014. Pameran dengan tema “Batik - Alte Tradition aus Indonesien” (Batik - Tradisi Lama dari Indonesia) ini menampilkan koleksi batik Jawa dari dua kolektor batik asal Jerman, Annegret Haake dan Rudolf Smend. Koleksi batik tersebut antara lain berasal dari Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Cirebon, Lasem, dan Madura.
Annegret Haake adalah kolektor batik Indonesia yang sangat antusias belajar batik sejak tahun 1970 dan melakukan penelitian serta mengajarkan proses pembuatan batik dan makna di balik pola batik, batik khususnya Jawa. Sementara Rudolf Smend yang lahir pada tahun 1941 adalah kolektor batik sekaligus pemilik dari Gallery Smend di Cologne, museum yang memajang berbagai koleksi batik Smend. Smend juga adalah penulis beberapa buku batik, diantaranya adalah “Batik: From the Courts of Java and Sumatra”. Kedua kolektor ini diakui di Jerman sebagai ahli dalam batik Indonesia.
Di hari terakhir pameran, Annegret Haake mengadakan workshop batik bagi pengunjung pameran. Workshop ini diperuntukkan bagi anak-anak dan dewasa yang tertarik belajar membuat batik. Pada saat itu peserta workshop kebetulan didominasi oleh orang dewasa. Haake yang sudah sejak sudah sejak lama menggeluti batik, menerangkan bahwa batik Jawa sesungguhnya memiliki pola tertentu dan setiap motif mengandung filosofi yang terkait dengan kebudayaan tempat asal batik tersebut.
Sebelum memulai workshop, Haake menunjukkan beberapa karya batiknya yang diukirkan pada telur sejak tahun 2008, 2009, 2010, 2012 dan yang terbaru adalah pada Paskah 2014 lalu. Menarik sekali karena meski sudah beberapa tahun, namun telur-telur tersebut masih dalam keadaan baik.
Haake mengajak pengunjung untuk memahami keunikan proses pembuatan batik Indonesia. Beliau mengatakan bahwa proses pembuatan batik Indonesia memerlukan waktu dan ketekunan, baik itu untuk batik tulis maupun batik cap. Dalam workshop batik kali ini, beliau akan menunjukkan proses pembuatan batik tulis secara sederhana. Beliau kemudian menunjukkan alat dan bahan yang akan digunakan, mulai dari canting yang tersedia dalam berbagai ukuran, kemudian lilin yang dipanaskan pada wajan khusus, serta media untuk menggambar motif batik, yaitu kertas Jepang dan telur.
Haake memulai workshop dengan mengajak setiap peserta untuk memilih salah satu canting dan meletakkannya pada wajan yang berisi lilin panas. Beliau menunjukkan cara memegang canting dengan hati-hati dan sedemikian rupa sehingga lilin tidak menetes ketika canting digerakkan membentuk pola tertentu. Dalam workshop ini, peserta diperbolehkan untuk membuat pola apapun pada lapisan kertas yang telah disediakan. Pola yang telah selesai digambar kemudian diwarnai dengan kuas dan dikeringkan. Setelah kering, kertas disetrika untuk memindahkan pola ke kertas Jepang.
Jika dibandingkan dengan proses pembuatan batik yang sebenarnya, proses yang ditunjukkan pada workshop ini sangat sederhana tetapi bagaimanapun juga itu sudah cukup untuk memvisualisasikan kompleksitas pembuatan batik. Selain itu, hal ini juga sangat menginspirasi peserta workshop yang selama ini hanya mendengar dan membaca tentang proses pembuatan batik.
Di akhir workshop, Haake mendampingi peserta workshop melihat koleksi batik yang dipamerkan. Haake menjelaskan seluk-beluk batik, mulai dari asal-usul kata batik hingga arti dari setiap pola batik yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik di kalangan masyarakat umum maupun kalangan keraton. Haake juga memahami dengan baik perbedaan antara batik keraton dan batik pesisir. Beliau menjelaskan bahwa batik dari dua kelompok daerah tersebut berbeda dalam pola dan warna. Beliau juga menceritakan sejarah dan detil pengelompokan pola batik, serta nama-nama daerah di mana koleksi batik berasal.
Selanjutnya Haake menunjukkan koleksi batik tulis dan batik cap serta mengajak pengunjung untuk mengamati perbedaan antara keduanya. Haake kemudian menunjukkan beberapa batik printing yang terpajang di salah satu sudut ruangan dan secara eksplisit mengatakan bahwa pola yang dibuat dengan mesin printing sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai batik.
Walaupun usianya telah menginjak 81 tahun, namun Ibu Haake nampak gesit sepanjang hari itu; mulai dari ketika beliau menyiapkan perlengkapan workshop di pagi hari, kemudian selama berlangsungnya workshop hingga ketika menemani pengunjung melihat koleksi batik.
Sebagai warga Indonesia yang sedang tinggal di luar negeri, adalah sesuatu yang membanggakan melihat warisan budaya bangsa Indonesia dipamerkan di negara lain. Sudah sepatutnyalah kita berbangga hati karena bangsa lain begitu mengagumi dan menghargai budaya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H