Sebagai negara yang terdiri beragam kebudayaan, Indonesia memiliki karakter perilaku penduduk yang unik sesuai dengan ciri khas kebudayaan masing-masing. Keunikan penduduk Indonesia ini sangat mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Apalagi dengan terjadinya fenomena urbanisasai yang kian waktu kian menggiring masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang mengkota. Banyak masyarakat berupaya sedemikian rupa agar mampu bertahan di tengah kehidupan kota. Untuk itu, Indonesia perlu memiliki penanganan tersendiri dalam mengatasi kondisi seperti ini. Bisa dikatakan hal ini adalah persoalan, namun bisa juga hal ini menjadi keuntungan. Tak heran, jika perilaku masyarakat ini mempengaruhi pola perkembangan kota di Indonesia. Dari pola perkembangan tersebut, maka diperlukan manajemen kota yang mampu mengarahkan keberagaman yang ada, menjadi padu dan teratur.
Dalam upaya bertahan di tengah tingginya persaingan di lingkungan perkotaan, muncullah suatu kondisi informal pada masyarakat. Dampak dari kompleksnya kehidupan kota ini, membuat sebagian masyarakat memilih untuk melakukan kegiatan tanpa mengacu pada peraturan yang sudah ada. Maka dari itu dalam persepektif manajemen kota, informalitas didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat, di luar dari mekanisme atau peraturan yang ditetapkan pemerintah. Informalitas bersifat tidak mengikat dan non permanen. Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa adanya informalitas adalah hal alamiah yang berkembang dengan sendirinya, tanpa direncanakan. Hal ini menunjukkan pula bahwa keberadaan fenomena informalitas ini tidak dapat dianggap sebagai suatu kesalahan dalam perencanaan. Justru melalui perencanaan inilah kemudian informalitas diarahkan ataupun ditertibkan.
Informalitas dalam permasalahan manajemen kota dapat terjadi pada lapangan pekerjaan maupun permukiman. Dikatakan demikian karena informalitas spasial berawal dari informalitas sektoral. Artinya, apabila kegiatan informal yang dilakukan masyarakat akibat himpitan kondisi ekonomi, maka akan memberi dampak bentuk fisik ruang yang informal pula. Misalnya pada tingginya tuntutan ekonomi, sementara akses untuk mendapatkan peluang tersebut kecil, maka sekelompok masyarakat melakukan suatu usaha agar mampu mendapatkan penghasilan meskipun dengan skill yang terbatas dan tanpa tempat yang tetap. Dari situlah muncul informalitas lapangan pekerjaan yang berupa pedagang kaki lima (PKL). Pedagang sektor informal ini umumnya berdagang secara liar di pingguran jalan. Hal ini akan memberi dampak negatif pada fisik ruang kota itu sendiri. Pedestrian atau bahu jalan menjadi area dagang para PKL. Tak jarang pula, hal ini mampu menimbulkan kemacetan lalulintas akibat hambatan samping yang ditimbulkan dari pemakaian bahu jalan. Dapat terlihat bahwa kegiatan berdagang para PKL yang informal tersebut berdampak pada perubahan fisik ruang kota yang berada pada kondisi informal pula.
Sebagai contoh nyata dari pengelolaan fenomena informal dalam segi lapangan pekerjaan adalah kasus yang terjadi adalah pada sentra PKL di alun-alun Simpang Lima, Semarang. Sejak tahun 2009, PKL di kota Semarang banyak ditemukan di daerah tersebut. Pasalnya, alun-alun Simpang Lima merupakan jantung dari Kota Semarang yang menjadi ruang publik bagi masyarakat setempat untuk berkumpul. Bisa dikatakan juga, keberadaan alun-alun Simpang Lima ini sebagai tempat rekreasi lokal masyarakat Kota Semarang. Tak heran jika para pelaku pedagang informal menjadikan alun-alun Simpang Lima menjadi lokasi strategis untuk dijadikan tempat usaha.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah Kota Semarang mengadakan shelter-shelter untuk para PKL yang berada mengitari alun-alun Simpang Lima. Pembangunan shelter Simpang Lima ini ditanggung oleh Dinas Bina Marga Kota Semarang yang kemudian diserahterimakan kepada pihak Dinas Pasar Kota Semarang. Shelter tersebut dilengkapi dengan rak-rak display makanan yang didesain khusus bagi para PKL. Selain itu, para PKL juga mendapatkan dua meja dan delapan kursi pengunjung. Semua fasilitas tersebut disediakan secara cuma-cuma oleh berkat kerjasama pihak Pemkot Semarang dengan CV Media Graha Utama, Semarang. Turut sertanya pihak ketiga dalam pengelolaan shelter Simoang Lima ini dinilai cukup menguntungkan. Disamping kelengkapan akan fasilitas PKL yang terpenuhi, penyediaan jasa bagi para PKL juga diberikan oleh pihak ketiga. Pelayanan tersebut adalah dengan penyediaan pramusaji yang nantinya akan membantu kinerja para PKL dalam melayani para pengunjungnya. Shelter Simpang Lima ini memiliki kapasitas sebanyak 108 pedagang, yang telah terfasilitasi 174 unit rombong (rak display makanan).
Sentra PKL ini beroperasi sejak tanggal 19 Desember tahun 2011. Meskipun baru sekitar tiga minggu berjalan, keberadaan shelter Simpang Lima ini sudah dipermasalahkan. Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota Semarang menganggap, pembangunan shelter ini perlu dievaluasi ulang. Beliau beralasan bahwa shelter ini memakai area seluas 80% dari area pedestrian yang di alun-alun tersebut. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu para pejalan kaki yang merupakan pengunjung alun-alun itu sendiri. Meski PKL tersebut beroperasi pada malam hari, namun pada malam hari itupun, jalur lambat yang berada di sekitar jalur pedestrian digunakan sebagai parkir kendaraan pengunjung PKL tersebut. Jadi keberadaan shelter ini justru menghilangkan fungsi dari pedestrian yang sudah ada di sekeliling alun-alun Simpang Lima. Di samping itu, menurut pengakuan salah seorang pedagang sendiri, jatah kapling yang disediakan untuknya terlalu membatasi jumlah pengunjung yang hendak membeli ditempatnya. Sehingga keuntungan yang didapat tidak semaksimal dulu sebelum direlokasi ke shelter ini. Belum lagi ditambah dengan kenaikan sewa tempat yang mulai deberlakukan oleh pemerintah. Cepat atau lambat, adanya masalah demikian akan mengurangi minat para PKL untuk lebih lama berdagang di shelter Simpang Lima.
Menilai dari kasus yang terjadi pada shelter Simpang Lima, Semarang, upaya beautification yang telah dilakukan Pemkot Semarang merupakan langkah yang baik. Meskipun masih gagal untuk mendapatkan Adipura, Kota Semarang telah menunjukkan upayanya dalam memanajemeni persoaalan PKL yang ada. Jika pemerintah tidak segera mengevaluasi proyek tersebut, maka besar kemungkinan keberadaan shelter ini tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Contohnya saja seperti kebanyakan kasus yang terjadi Kota Surabaya. Dapat terindikasi adanya resistensi pada para PKL di kemudian hari apabila pemerintah kembali menertibkan mereka ke dalam sentra PKL. Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih adaptif agar keberadaan PKL ini dapat ditertibkan. Tentunya juga dengan lebih memperhatikan lokasi baru yang akan dijadikan tempat tujuan relokasi. Jangan sampai mengambil alih fungsi dari kawasan lain yang sudah ada terkebih dahulu. Sperti halnya pada kasus shelter Simpang Lima ini.
City without slums memang merupakan impian setiap kota di Indonesia ini. Namun kembali perlu diingat, bahwa informalitas adalah suatu hal yang terjadi secara alamiah dan mengakar secara kuat dalam kebudayaan di Indonesia, sehingga tidak dapat dihilangkan. Hal demikian juga bukan merupakan kesalahan dari perecanaan karena bagaimanapun, melalui perencanaan ini lah keberadaan informalitas dapat ditertibkan dan dikelola dengan manajemen perkotaan. Oleh karena itu pengelolaan dalam manajemen kota haruslah mampu menggunakan pendekatan yang sesuai. Indonesia memang negara yang juga kaya dalam hal informalitasnya. Sungguh hebat, jika Indonesia mampu memiliki manajemen kota yang cerdas dan selaras dengan keunikan Indonesia dalam informalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H