Mohon tunggu...
hesma eryani
hesma eryani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Membaca dan menulis menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan saya. Dengan membaca dan menulis saya mengenal diri dan kehidupan....hingga pada akhirnya mengenal Sang Pencipta. Semoga setiap langkah bermanfaat dan menjadi jalan untuk mengabdikan hidup padaNya....

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Ketika Ahok Enggan Menggunakan Angkutan Umum ke Kantor....

4 Januari 2014   11:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

WAGUB DKI Basuki Tjahaya alias Ahok tetap saja menggunakan mobil ke kantor, padahal ia dan Jokowi memerintahkan seluruh PNS DKI tidak menggunakan mobil pribadi. Alasan Ahok, berkendaraan umum ribet, tidak efektif karena harus gonta – ganti kendaraan, penuh, sesak dan tidak aman. Baru sampe Harmoni saja sudah penuh, belum lagi ke kantornya yang berjarak kurang lebih 1 kilometer dari halte busway Harmoni itu.

Nah Ahok, kini mengertikah Anda mengapa pemilik kendaraan pribadi di Jakarta tak mauberalih angkutan massal sekalipun Anda membuat peraturan yang membuat mereka “tersiksa” jika tetap menggunakan kendaraan pribadi misalnya ERP atau Genap Ganjil?

Lewat peraturan itu Anda memaksa orang beralih ke angkutan umumyang kondisinya tidak layak dan tidak manusiawi, serta tidak efektif dan efisien. Kebijakan dan peraturan tersebut memang sangat dipahami sebagai salah satu upaya memecah macet di DKI. Saya yakin, warga DKI ini sangaaaaat ingin patuh dan setuju dengan berbagai kebijakan yang baik utuk seluruh warga DKI. Tetapi, membuat kebijakan tanpa disertai infrastruktur yang benar, sehat, dan manusiawi sangatlah tidak adil.

Anda sendiri baru dalam tahap uji coba saja, dan hanya sebulan sekali untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi/dinas ke kantor saja sudah enggan, apalagi kalau setiap hari. Anda telah mengemukakan alasan yang juga menjadi alasan substansial ratusan ribu pemilik kendaraan pribadi di Jakarta untuk tidak beralih ke angkutan massal.

Menunggu busway datang yang cukup lama, bahkan lebih dari 1 jam, terutama saat jam pulang kantor dan usai shalat Jumat, dan ketika bus datang masuknya pun terbatas sehingga harus menunggu lagi, serta rute yang panjang dan betputar-putar adalah realitas tak terbantahkan. Ini sekadar sebuah contoh karena masih banyak contoh lainnya.

Jadi, kalau orang butuh waktu dan melihat waktu sebagai bagian sangat mendasar dalam melahirkan produktifitas, karya, kerja, dan uang yang maksimal, tentu sangat dipahami mengapa mereka mengeluh dan tak mendukung kebijakan yangkontraproduktif ini. Dalam konteks ini, tolonglah saling memahami, dan jangan anggap warga DKI ini ngeyel atau tidak mendukung berbagai kebijakan Anda.

Dan bagi para pendukung Jokowi atau Ahok, please deh….jangan antipati dulu terhadap berbagai masukan dan pandangan yang mengkritisi kebijakan mereka. Janganlah membabi buta mendukung mereka. Jangan langsung menuduh setiap pemberi masukan dan kritik sebagai pihak yang tak tahu diri, tak mau diatur, atau tak menghargai pemimpin DKI ini.

Bukan itu! Bukalah mata hati dengan jujur dan berbesar jiwa. Percayalah rakyat Indonesia ini, termasuk warga DKI, pada dasarnya adalah warga yang patuh dan snagat sabar. Coba, berbagai kebijakan pemerintah yang sangat mencekik dan menzalimi rakyatpun mereka jalani meski dengan rasa sakit luar biasa. Percayalah, sebagian warga DKI ini mendukung kebijakan Jokowi-Ahok terutama yang benar-benar dirasakan membantu mereka seperti berobat gratis, pengembalian fungsi trotoar/pedestrian, dan normalisasi sungai-sungai.

Percayalah, kebijakan yang adil, fair, dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak akan selalu didukung. Lihatlah Negara-negara asing semacam Singapura dan Swiss. Warganya lebih menyukai naik kendaraan umum ketimbang pribadi karena memang nyaman dan manusiawi. Jika pemerintah kita belum sampai pada tahap benar –benar nyaman dan manusiawi dalam menyediakan angkutan umum (baik dari segi jumlah kendaraan, SDM, dan berbagai insrastruktur lainnya), setidaknya marilah lebih bersabar dan tidak grasa grusu menerapkan kebijakan, apalagi mengeksploitasinya untuk melegitimasi pemasukan daerah/PAD. Setiap kebijakan memerlukan proses dan waktu. Waktu dan proses harus diberi kesempatan untuk beraktualisasi.

Soal Konsistensi Sikap

Dalam konteks tidak nyamannya angkutan massal, keengganan Ahok naik angkutan massal ke kantor tentulah sangat dipahami. Tetapi dalam konteks akhlak dan etika kepemimpinan, sikap tersebut sulit ditolerir.Buat saya pribadi, ini bukan soal beralih ke angkutan umum. Dalam konteks perilaku tersebut, substansinya adalah konsistensi sikap seorang pemimpin.

Sikap Ahok itu mencerminkan bahwa ia kurang, bahkan, mungkin, tidak menghargai dan inkonsistensi terhadap peraturan yang harus ditegakkan bersama, yang, ironisnya, ia buat dan setuju sendiri. Boleh saja ia berdalih bahwa peraturan itu untuk para PNS, dan ia bukanlah PNS. Kalau itu alasannya, bukankah , Sang Gubernur Jokowi juga tidak menggunakan mobil, melainkan sepeda.

Okelah soal bersepeda ini orang boleh berkilah, rumah dinas Jokowi dekat dengan kantornya sementara rumah Ahok jauh sehingga sangat tidak efektif naik sepeda, apalagi jika harus dikawal dengan vooreder segala. Kalau ini persoalannya, solusinya gampang. Pindah ke rumah dinas yang jaraknya memang bisa dijangkau dengan sepeda.

Artinya, tak ada alasan untuk tidak konsisten Ko Ahok. Ini soal peraturan. Ketika peraturan disepakati dan disetujui bersama, maka tak ada alasan lain selain konsisten menegakkannya bersama –sama tanpa reserve, kecuali dalam situasi di mana jika Anda konsisten dengan aturan, nyawa Anda benar –benar dalam ancaman bahaya yang tak tertolong, dan penyelenggaraan pemerintahan DKI akan terhambat habis –habisan.

Ternyata menjadi konsisten itu tak mudah kawan! Memaksa orang lain konsisten mengikuti aturan namun inkonsistensi ketika harus diterapkan pada diri sendiri dengan berbagai dalih terutama terganggunya kepentingan.

Inkonsistensi pada seorang pemimpin sangatlah fatal, karena bisa menjadi sumber kegagalan. Manusia pada akhirnya lebih menyukai orang yang konsisten serta satu kata antara sikap dan ucapannya. Kunci seorang pemimpin yang konsisten terletak pada perkataan dan perilakunya. Sehebat apapun kemampuan leadership seseorang, namun jika perkataan dan perilakunya tidak menunjukkan konsistensi, maka akan mengurangi reputasinya di mata bawahan. Seorang pemimpin yang memberikan perintah yang membingungkan ataupun berperilaku tidak konsisten, juga berpotensi menghasilkan penurunan produktivitas karyawan dan demotivasi.

Konsisten jelaslah bukan lebih dari sekadar bersikap baik saja, juga tindakan berkesinambungan. Hal itu bisa kita raih jika kita menghargai diri sendiri, orang lain, sertatekad membara untuk mendobrak segala macam rintangan dan tantangan. Rintangan terberat tentulah nafsu dan egoism diri sendiri.

Saya percaya, hanya dengan bersikap konsisten, seseorang bisa menjadi seorang pemimpin yang terpercaya dan dihormati bawahannya. Konsistensi, khususnya pada diri pemimpin,akan melahirkan respek. Memang takmudah membangun sebuah personal branding terkait dengan sifat konsisten. Bahkan yang terjadi, banyak orang dengan mudah mengumbar janji, lalu dengan mudah mengingkarinya. Seakan lupa janji bukanlah sekadar permainan kata-kata namun memiliki konsekuensi logis di mata manusia dan Tuhan.

Memang tak mudah menjadi konsisten. Tapi, ia bukan pula terlampau sulit diperoleh. Sikap konsisten adalah kualitas baik yang dihasilkan secara terus menerus. Dengan memiliki konsistensi, reputasi yang baik akan melekat pada diri kita. Dengan konsistensi, bukan hanya orang lain atau institusi dimana kita bernaung yang diuntungkan, juga bagi diri sendiri. Benarlah kata agama, mulailah dari diri sendiri. …..

Buat PNS DKI, teruslah menjalankan kebijakan atasan Anda dengan baik, tanpa harus terpengaruh oleh sikap Ahok. Siapa tahu, dengan bersikap seperti itu, Ahok sesungguhnya sedang menguji kesabaran kalian dan melatih disiplin pribadi kalian, namun jauh di dasar hatinya dia sesungguhnya akan juga menjalankan aturan itu. Siapa tahu sesungguhnya Ahok ingin para PNS memiliki disiplin karena kesadaran sendiri, bukan karena harus disuruh atau diberi contoh dulu oleh atasannya. Orang-orang yang memiliki disiplin pribadi, akan tetap konsisten berdisiplin, tak peduli orang – orang sekitarnya tidak disiplin. Maaf ya Ko Ahok kalau dugaanku ini salah dan sok tahu. Saya percaya Anda sangat berbesar hati dalam menerima berbagai masukan, dan menghormati masukan itu meski tak sejalan dengan Anda.

Salam…..

Jakarta, 4 Januari 2014….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun