Saya masih terkenang betapa termangunya saya--beberapa tahun lalu-- seusai mendengar nasehat Abah saya(alm). "Banyak manusia yang mengaku-ngaku dirinya hamba Allah, padahal belum tentu Allah mengakuinya sebagai hamba," kata Abah.
Lama saya merenungi ucapan abah itu, hingga akhirnya memahami maksud Abah. Saya melihat ada korelasi kuat antara "hamba" dan Allah", sehingga pada kondisi tertentu ia (sang hamba ) pantas disebut sebagai hamba Allah. Ukurannya, tentulah segala perilaku yang terkait penghambaan kepada Allah.
Kalimat Abah itu kembali mengusik saya lagi ketika akhir-akhir ini banyak orang yang begitu gencar dan mudah menyebut dirinya dengan sebutan "seorang hamba Allah". Saya "terusik", sebab "pengakuan" gamblang itu tak sesuai dengan standar "kehambaan" yang dipersyaratkan Allah. Dan saya makin terusik manakala penyebutan itu dilakukan dalam konteks kepentingan tertentu khususnya politik.
Pengakuan diri sebagai hamba Allah yang dilakukan itu sangat subjektif, semena-mena, dan semata mencari keuntungan pribadi. Dalam terminologi bahasa Indonesia, khususnya versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke Tiga terbitan Depdiknas hamba berarti abdi, budak belian. Jika digunakan untuk menggantikan kata ganti "saya", hamba bermakna merendahkan diri.
Jika digunakan dalam konteks hubungan dengan Tuhan, dan populer dengan sebutan "hamba Allah" dia bermakna sebagai makhluk yang sadar dan harus selalu takwa. Dalam konteks hukum, dia bermakna petugas hukum.
Dalam konteks nafsu, dia bermakna orang yang suka memperturutkan hawa nafsunya. Berbagai terminologi tersebut menyiratkan adanya hubungan client-patron yang sangat subordinatif. Di sini, sesuatu bernama dedikasi, kerja keras, dan pengorbanan telah menjadi sangat inherent dan involved dalam diri pihak yang disubordinasi.
Dalam konteks agama, hal itu diwujudkan dengan perilaku : istikamah, takwa tanpa reserve. Lantas, apakah  terjemahan ini berasosiasi bahwa yang mengsubordinasi begitu kejam, keji, dan gila hormat? Tentu saja bukan. Sebab, ada imbalan pantas untuk sebuah pengorbanan. Maka, predikat hamba yang diberikan Allah kepada seorang manusia sesungguhnya adalah penghargaan yang setara dengan nilai signifikansi pengorbanan yang dilakukan hamba kepada Allah.
Pengakuan itu berbanding lurus dengan kualitas kehambaan seseorang. Idealnya, segala yang ia lakukan dalam rangka, demi, dan hanya karena Allah. Komitmen semacam ini tentu saja tidak oral verbal, melainkan perilaku nyata.
Beragama bukanlah semata pengakuan, tetapi impelentasi. Komitmen inilah yang menjadi spirit sekaligus kontrol ketika bersikap dan berlaku. Artinya, seorang hamba Allah, pasti tidak melakukan hal-hal yang dalam pandangan Allah salah misalnya mencuri, menipu, memfitnah, berzinah, menzalimi orang lain, atau apa saja yang dalam standar agama tidak benar.
Sekali lagi, ia menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang tanpa reserve. Inilah penghambaan total. Dalam tahap ini, adalah pantas Allah menyebut kita "hambaKu". Pengakuan Allah terhadap seorang anak manusia sebagai hambaNya adalah ujud cintaNya yang paling tinggi, dan penghargaan itu diberi imbalan sangat-sangat pantas baik di dunia dan akhirat.
Beranjak dari sini, kita memahami bahwa hamba Allah adalah soal kualitas. Jadi, ia bukan sekadar pengakuan tanpa makna atau prasyarat khusus. Namun, kita tahu, kata "hamba Allah" sering digunakan semena-mena. Ketika menyumbang sedikit nama yang ditulis: hamba Allah. Sumbangan gede pake nama lengkap.
Ketika teraniaya dan butuh simpati kita menyebut diri hamba Allah (meski kelakuan tak mendukung sebagai hamba Allah). Ketika gagah, kita justru menganiaya, baik diri sendiri mapun orang lain. (Saat itu, kita sesungguhnya lebih hina dina dari hamba dalam pandangan manusia sekalipun). Kita memang sering tanpa malu mengeskploitasi agama demi untuk kepentingan diri pribadi. Tuhan maafkan kami. Ajari kami menjadi hambaMu, menjadi mahkluk yang tahu diri