Mohon tunggu...
hesma eryani
hesma eryani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Membaca dan menulis menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan saya. Dengan membaca dan menulis saya mengenal diri dan kehidupan....hingga pada akhirnya mengenal Sang Pencipta. Semoga setiap langkah bermanfaat dan menjadi jalan untuk mengabdikan hidup padaNya....

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Jokowi, Ahok, Naik BRT/MRT Yuuuk...

24 September 2013   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:28 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Di tengah carut marutnya system transportasi DKI serta buruknya kondisi kendaraan umum diJakarta,buat para pengguna kendaraan pribadi,kebijakan menerapkan electronic road pricing (ERP) sebagai salah satu cara memaksa warga DKI menggunakan kendaraan umum/masal semacam(masa rapid transit /MRT atau bus rapid transit /BRT) sangat – sangat tidak reasonable, serta maaf….cenderung arogan dan egois.

Secara teroritis, jika sebagian besar pemilik kendaraan pribadi beralih ke MRT/BRT seperti Transjakarta, PPD, metromini, atau kereta api memang akan mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas. Tapi, sebagian besar pemilik kendaraan pribadi pasti akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang MRT/BRT. Saya pribadi, meski mobil saya tua dan , tentu saja, lebih berbiaya tinggi jika naik kendaraan umum (karena bensin cepat menguap di tengah kemacetan, harus bayar tol, dan parkir) akan lebih memilih tetap menggunakan mobil pribadi ketimbang naik MRT/BRT. Apalagi bagi para pengguna motor karena lebih efektif dan efisien.

Betapa tidak, angkutan umum di Jakarta inibukan saja tidak nyaman, tidak manusiawi, juga sangat tidak efektif dan tidak efisien. Ambil contoh busway, terutama jurusan PGC – Harmoni, dan Kampung Melayu – Pulogebang. Menunggu bus ini datang saja terkadang lebih dari satu jam. Apalagi pada saat jam – jam keberangkatan dan kepulangan kerja. Jumlah pengguna bus sangat banyak, sementara jumlah bus sedikit. Sudah lama menunggu, ketika datang yang masuk bus pun terbatas. Akibatnya antrean mengular. Panasnya halte jangan ditanya. Sudah tak ada jendela, AC pun tak ada. Kipas angin pun jarang dihidupkan dan kebanyakan dalam kondisi rusak, sementara WC dan musala tidak tersedia. Belum lagi rutenya yang jauh dan muter – muter. Benar – benar tidak efektif dan efisien.

Naik metromini dan kopaja? Sama tidak manusiawinya. Kondisi metromini yang rata – rata sudah tua, penumpang berjejalan, bahkan hingga bergelantungan di pintu bis, sopir ugalan – ugalan dan tidak memperdulikan keselamatan penumpang, serta memberhentikan penumpang seenaknya saja. Belum lagi macet yang luar biasa.

Naik kendaraan umum juga akan berbiaya tinggi bila harus gonta – ganti bus, dan makin tidak efisien bila tempat berganti bus harus ditempuh dengan jalan kaki karena rutenya yang dituju tidak dilewati angkutan umum.

Dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi dan tidak beradab ini, para pemilik kendaraan dipaksa beralih ke kendaraan umum melalui kebijakan ERP yang mencekik? Wow….luar biasa gedheknya pemimpin DKI ini…. Mereka benar – benar gak punya hati. Apa mereka tidak tahu,penggunaanangkutan itusangat terpaksa karena mereka tak memiliki kendaraan pribadi. Kalau mereka memiliki kendaraan pribadi, dipastikan mereka tak akan memilih kendaraan umum. Karena itu, banyak cara dilakukan orang agar bisa memiliki kendaraan pribadi, terutama motor.

Sebelum memutuskan memaksa warga menggunakan MRT/BRT, saya sarankan dan sebaiknya Ahok, Jokowi, dan para pejabat yang biasa duduk manis di dalam mobil yang mewah dan nyaman serta tidak terkena macet segera mengalami dahulu menggunakan bus umum. Gak usah lama – lama kok, cukup seminggu saja Anda menggunakan bus umum secara diam – diam. Tentu saja harus diam – diam. Kalau Anda mengumumkan secara terbuka, dikhawatirkan ada pengkondisian situasi sehingga Anda tak tahu kondisi riil transportasi umum di Jakarta.

Misalnya, Anda bilang ke public tanggal sekian akan menggunakan busway, kereta api, metro mini, kopaja, PPD, bahkan mikrolet, maka dipastikan pihak – pihak terkait akan segera melakukan berbagai upaya untuk memudahkan dan memuluskan niat Anda.

Kebijakan menerapkan ERP, danmenahan warga untuk tidak memiliki mobil pribadi (berapapun harganya),lalu memaksa warga menggunakan MRT/BRT dengan kondisi transportasi umum yang kacau, tidak manusiawi, dengan system transportasi yang sangat amburadul ini adalah kebijakan pimpinan yang cenderung mengabaikan dan tidak menghargaiperasaan sakit warga DKI serta melecehkan keberadaan warga.

Penerapan ERPdan menggunakan MRT/BRT baru bisa dilakukan dan pantas dilakukan jikakondisi transportasi umum sudah sangat baik dan manusiawi.

Gagasan kebijakan menerapkan ERP dan BRT/MRT dalam kondisi transportasi sekarang adalah cermin kepanikan para kepala daerah atas tuntutan warga DKI yang menginginkan adanya system transportasi yang modern dan beradab di negeri ini khususnya di DKI.

Benahi Sistem Transportasi.

Untuk Negara – Negara maju yang sudah memiliki system transportasiyang baik, dan system angkutan umum yang nyaman, penerapan ERP wajar – wajar saja dilakukan. Masyarakat lebih memilih kendaraan umum yang nyaman dan murah ketimbang membawa mobil pribadi. Itu sebabnya, volume penggunaan kendaraan umum lebih banyak ketimbang kendaraan pribadi.

Dengan kondisi dan situasi sekarang, ERP bukanlah solusi yang sehat dalam membenahi macet di Jakarta. Yang perlu dilakukan sebetulnya adalah memperbaiki system transportasi yang ada agar lebih manusiawi. Bagaimana teknisnya, tentu banyak cara. Soal ini pernah saya tulis dan dilansir di Kompasiana melalui tulisan berjudul Menata Jakarta tak Cukup dengan Nyali Besar Saja (dilansir 2 September 2013).

Menata Jakarta tentu saja harus realistis dan melihat akar persoalan. Salah satu hal yang menurut saya bisa digunakan adalah dengan mempelajari fenomena lebaran di Jakarta. Kita lihat, setiap kali lebaran idul fitri, mulai H- 7 dan H +7, lalu lintas di Jakarta lancar dan tertib berlalu lintas berjalan baik.

Lancarnya lalu lintas di Jakarta saat itu menunjukkan bahwa daya dukung dan kemampuan transportasi lalu lintas di Jakarta secara riil adalah sesuai dengan volume kendaraan, jumlah penumpang, dan frekuensi penggunaan angkutan saat itu.

Kita ambil contoh sederhana. Katakanlah, penduduk Jakarta saat ini ada 8 juta dan terdapat 5 juta kendaraan pribadi, serta 2 juta kendaraan umum (ini sekadar asumsi lho, bukan angka rill… dengan contoh ini, substansinya bukan pada angka). Ketika lebaran, katakanlah,terjadi pengurangan penduduk sebesar 3 juta dan pengurangan kendaraan pribadi sebanyak 2 juta kendaraan pribadi, dan1 juta angkutan umum karena para sopir dan kernet juga pada libur.

Artinya, daya dukung dan kemampuan system transportasi di Jakarta idealnya adalah untuk 5 juta penduduk , 3 juta kendaraan, dan1 juta angkutan umum.Sebab itu tidak terjadi kemacetan karena volume cukup,durasi traffic light juga pas, sehingga pengguna jalan cenderung tertib.

Ketika lebaran usai, jumlah penduduk kembali 8 juta dan kendaraan pribadi 5 juta, dan angkutan umum 2 juta. Maka, terjadilah kemacetan di mana – mana.

Mengurangi jumlah kendaraan, jumlah penduduk, dan jumlah angkutan umum agarsesuai daya dukung dan kemampuan system transportasi seperti jalan, rute, dan traffic light jelaslah tidak mungkin. Mereka warga Jakarta, hidup, berkarir, bekerja, beranak pihak di Jakarta. Lebaran hanyalah “masa reses” untuk memulihkan suasana agar fresh kembali. Ketika lebaran tiba, mereka harus kembali ke kehidupannya.

Dan angka – angka penduduk, kendaraan pribadi maupun umum adalah realitas yang tak terbantah. Sebab itu, solusinya bukanlah dengan mengurangi angka – angka tersebut melainkan dengan memperbaiki system transportasi dan manajemen transportasi. Semua jalan bisa dipilih seperti membenahi dan meningkatkan kualitas infrastruktur antara lainmenambah ruas jalan, memperbanyak rute, membangun jembatan layang, melakukan penyesuaan durasi traffic light dengan jumlah kendaraan dan lain sebagainya.

Solusi lain adalah mengurangi hal – hal yang dapat mengurangi badan jalan misalnya membuang pulau –pulau jalan, memperkecil taman – taman di tengah jalan, dan mengganti pohon –pohon yang berdiameter sangat besar, dan sebagainya. Kebijakan ini memang berimplikasi pada lingkungan khususnya terkait polusi dan keindahan kota, namun itu harus dipilih kalau memang terpaksa.

Solusi lain juga adalah membuat para pengguna kendaraan pribadi secara sukarela, bahkan dengan senang hati beralih ke kendaraan umum. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah ketersediaan kendaraan umum massal yang nyaman, lancar, dan rute yang tidak menyulitkan. Selain jumlahnya harus banyak, frekuensi operasi di jalan juga makin besar sehingga penumpang tidak kehabisan waktu dan tidak berdiri berjejalan bak ikan sardens kalengan kecil.

Mentalitas para sopir juga harus dibenahi, jangan ugal – ugalan. Lihatlah betapa banyak sopir metro mini dan sejenisnya termasuk bus – bus besar P sekian- P sekian yang seenaknya menggunakan jalan raya.

Mentalitas aparat terkait juga harus dibenahi termasuk misalnya aparat yang melakukan uji Kir kendaraan, pemberian rute, pemberian SIM, dan sebagainya. Hanya yang layak dan pantas saja yang dapat izin.

Berbagai kebijakan yang tidak efektif harus ditinjau ulang seperti Three In One, Busway dll. Three In Oneitu rawan. Bayangkan, jika kita memang tak punya pilihan harus membawa kendaraan pribadi. Agar bisa melewati jalan yang memang harus kita lewati karena itu rutenya, kita terpaksa menggunakan joki. Para joki ini orang – orang yang tidak dikenal. Selain kita harus membayar pada mereka, juga keamanan kita rawan. Demikian juga busway yang mengambil badan jalan, tetapitak banyak digunakan karena jumlah busway sangat terbatas.

Rencana penerapan genap ganjil juga harus ditinjau ulang karena sangat tidak adil. Bayangkan, pemilik kendaraan harus membayar pajak selama setahun, namun menggunakan jalan hanya setengah tahun. Membayar pajak utuh artinya kita berhak atas fasilitas secara utuh. Pajak itu berkorelasi positif dengan fasilitas.

Balik ke soal ERP, rasanya terlalu dini dan belum pantas untuk diterapkan.Jikapemerintah tetap ngotot dan memilih menerapkan ERP….dengan tarif tinggi pula.Subhanallah…..benar – benar kebijakan yang kalap dan tendensius. Untuk orang – orang kaya yang butuh waktu, membayar berapapun tak masalah asal jalan lancar (buktinya tuh lihatlah tarif tol. Biar naik terus, tetap saja digunakan).Apa yang terjadi kelak? Macet tetap berlangsung, sementara uang terus mengalir deras ke kas daerah. Jika untuk kepentingan transportasi kita sih oke – oke saja. Tapi, kalau Cuma jadi lahan korupsi dan bancakan baru? Wow! Nanti dulu…..Kalau ini dipaksanakantendensi mengumpulkan duit dari warga sangat kental dibanding upaya mengatasi kemacetan. Model kebijakan seperti ini sudah tidak membantu membantu menyelesaikan persoalan kemacetan, juga membuat dongkol masyarakat.

Kebijakan mengatasi macet juga dapat dilakukan dengan pembatasan kuota kendaraandi DKI dan pembatasan tahun usia kendaraan karena jumlah jalan terbatas. Namun, kebijakan ini tentu saja menuntut kelegowoan Pemprov DKI karena akan mengurangi masukan pajak.

Di sisi lain, menolak kehadiran mobil murah hanya agar tidak membludaknya warga yang memiliki kendaraan pribadi, juga harus dipikirkan kembali. Kebijakan mobil murah saya kira tak semata berurusan dengankepemilikan kendaraan, juga hal – hal seperti perekonomian Negara, dan martabat bangsa. Dengan kondisi transportasi umum yang carur marut, amburadul, dan tidak manusawi sekarang, saya kira siapapun akan bermimpi memiliki mobil pribadi, dan peluang itu bisa diperoleh melalui mobil murah.

Bicara tentang mobil murah Ayla, akh….saya jadi inget mobil Es Em Ka…..Bagaimana kabar mobil ini yah? Kok seperti hilang bak ditelan bumi. Saya inget waktu pertama kali diluncurkan, ini cukup membuat nama Jokowi melejit tinggi, dan itu sangat membantu popularitas Jokowi yang akan bertarung dalam Pilgub DKI. Nah, kalau sekarang soal mobil Es Em Ka raib sementara Jokowi menolak mobil murah Ayla, timbul pertanyaan juga nih….apakah mobil Es Em Ka dulu itu cuma dieksploitasi untuk kampanye Jokowi agar menang di Pilgub DKI saja ya? Terbukti, langkah Jokowi sekarang yang menolak Ayla justru berseberangan dengan ketika menggaungkan Es Em Ka?.....

Soal ini, cuma sekadar pertanyaan iseng.. tapi sebaiknya Jokowi bisa menjelaskan ke public jika pertanyaan ini muncul agar tak timbul fitnah dan prasangka buruk public padanya, atau dijadikan alat kampanye hitam bagi lawan politik Jokowi.

Masih banyak lagi yang harus dibenahi seperti koordinasi dan kerjasama antara pihak terkait, serta kemauan politik pemerintah, legislatif, dan yudikatif dalam menegakkan hukum dan system yang berlaku. Begitu banyak dan ribet ya yang harus dilakukan?

Saya paham bahwa membenahi transportasi Jakarta ini sangaaaat teramaaaat sulit. Tapi, upaya pembenahan itu tak boleh menimbulkan berbagai persoalan baru yang justru kontraproduktif dengan tujuan tersebut.

Niat yang baik harus dilakukan dengan cara – cara yang baik, dan saya percaya selalu ada solusi untuk itu jika Pemprov DKI Jakarta memang bersungguh – sungguh, melibatkan banyak pihak, dan memikirkan kepentingan semua orang.

Fokus

Macet hanyalah salah satu persoalan krusial di DKI. Masih banyak persoalan lain yang sangat berat seperti banjir, polusi, kejahatan dan lain –lain. Artinya, tugas Jokowi dan Ahok sesungguhnya sangat banyak dan berat. Karena itu dibutuhkan keseriusan yang tinggi, fokus, dan energi yang besar. Blusukan yang dilakukan Jokowi rasanya sudah cukuplah dan sudah seharusnya dihentikan untuk kemudian diubah dengan lebih memfokuskan menggarap konsep – konsep besar pembangunan dan penyelesaiaan berbagai persoalan berat DKI agar benar – benar pantas menjadi ibu kota sebuah Negara dan barometer kota – kota di Indonesia.

Di tengah suhu politik yang memulai memanas seiring makin dekatnya pileg dan pilpres, ada semacam kerisauan saya dengan dan disebut – sebutnya Jokowi sebagai salah satukandidat presiden RI. Kalau memang benar Jokowi ingin menjadi salah satu capres RI, dan blusukan yang terus menerus dilakukan dijadikan salah satu alat pencitraan, sungguh saya sesalkan.

Pasalnya, Jokowi memiliki kontrak politik dan moral politik untuk memimpin DKI dengan tugas yang sangat berat. Haruskah tugas berat ini diabaikan begitu saja dengan mengikuti kontes pemilihan presiden RI? Sebaiknya Jokowi menyelesaikan kontrak politik dan moral politik ini hingga selesai waktunya. Berbagai persoalan yang ada di DKI menjadi test case atas kemampuanJokowi untuk memimpin RI. Jika ia sukses memimpin DKI, tentu tak sulit baginya untuk memimpin republiki ini. Jika ia sukses memimpin DKI artinya ia memang sudah teruji untuk memimpin republik ini.

Terakhir saya menyarankan agar para pemimpin , termasuk Ahok, agar lebih berhati – hati kalau berbicara. Tolonglah memilih kalimat – kalimat yang tidak melukai publik. Ketidakhati–hatian dalam berbicara dan bersikap sangat potensial merendahkan harkat dan martabat jabatan Anda sendiri . Salam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun