Mohon tunggu...
hesma eryani
hesma eryani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Membaca dan menulis menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan saya. Dengan membaca dan menulis saya mengenal diri dan kehidupan....hingga pada akhirnya mengenal Sang Pencipta. Semoga setiap langkah bermanfaat dan menjadi jalan untuk mengabdikan hidup padaNya....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengusung Meritokrasi, Memberangus KKN

20 Oktober 2013   15:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika soal politik dinasti yang dilakoni Gubernur Jawa Barat Ratu Atut Chosiyah menjadi wacana hangat di publik, sejumlah pihak turut berkomentar. Cukup mengejutkan buat saya karena sebagian yang berkomentar itu justru juga melakukan politik dinasti.

Ibarat pepatah, kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan.

Well…soal itu silakan saja publik menilai. Tapi, yang menarik buat saya ketika akhirnya muncul wacana untuk mengedepankan prinsip-prinsip meritokrasi dalam berbagai system. Ketika Presiden SBY juga berbicara tentang politik dinasti, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, justru meminta SBY untuk berada di garda terdepan memprakarsai prinsip meritokrasi. (Pernyataan Anas ini, dalam konteks politik, tentu saja sangat dalam dan bersayap…)

Kalau kita lakukan survey, saya kira hampir sebagian besar warga di republik ini setuju dengan prinsip meritokrasi, khususnya dalam meletakkan orang – orang di pusat – pusat kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun pemerintahan. Maklumlah, ratusan jutaan penduduk Indonesia ini tidak memiliki akses hebat dalam jarring kekuasaan, sehingga kecil peluang bagi mereka untuk masuk ke pemerintahan jika mengandalkan akses jaringan.

Dalam prinsip meritokrasi, yang terbaiklah yang paling berhak menduduki jabatan. Dengan demikian, mereka yang tak memiliki kekuasaan, akan memiliki peluang melalui kompetisi yang sehat.

Tetapi secara faktual, konsep meritokrasi di negeri ini masih sebatas di atas kertas. Ketika meritokrasi tidak diaplikasikan, maka pengisian pos – pos jabatan pada kekuasaan dilakukan melalui kedekatan. Maka, merebaklah prinsip kolusi, nepotisme, dan gratifikasi. Dari tiga hal ini, semuanya nyaris mengarah pada praktek korupsi.

Di era Orde Baru,kita kenal istilah AMPI yang merupakan singkatan ormas Angkata Muda Pembaruan Indonesia (AMPI), salah satu  underbouw Golkar. Namun, singkatan AMPI ini kemudian diplesetkan menjadi anak, menantu, paman, isteri.  Singkatan ini muncul karena hampir di semua struktur kekuasaan (politik, pemerintahan, ekonomi, dll) semua diisi nyaris oleh sanak famili penguasa dan kroni – kroni terdekat mereka.

Ketika Orde Baru rontok dan Orde Reformasi muncul, orang berharap model AMPI ini terhapus. Tapi, ternyata tidak, bahkan makin parah, khususnya di ranah politik. Di ranah pemerintahan, model AMPI perlahan tereliminasi. Tapi, di dunia politik, tidak demikian, bahkan nyaris subur dan cenderung melahirkan politik dinasti.

Lihatlah, jika ketua umumnya si A, maka dipastikan semua posisi strategis diisi orang terdekat si A. Jika posisi tidak diisi oleh sanak famili, keluarga terdekat dan kroni –kroni, maka dipastikan ada unsure gratifikasi dan kolusi di sana. Awam hanya bisa mengurut dada.

Dalam catatan Kemendagri, ada 57 kepala daerah yang terindikasi melakukan politik dinasti. Belum lagi di kalangan Orpol dan Ormas…Luar biasa ya….orang lain hanya bisa mengurut dada.

Kawan, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi itu memang hal yang sangaaat menyenangkan karena (bagi pelaku and his/her gang) memudahkan urusan. Coba bayangkan, kalau kita berkolusi untuk suatu urusan, pasti deh cincai….elu suka, gue suka….deal nya jelas…elu .selesai deh, asal tahu sama tahu, gak perlu ngikuti aturan karena ghalilbnya sesuatu  yang bernama aturan pastilah penuh batasan – batasan yang terkadang tak menyenangkan.

Nepotisme? Apalagi.  Dalam suatu organisasi/system sering kita menggunakan spoil system. Secara naluri kita akan memilih orang – orang yang kita kenal, kita percaya, untuk memperkuat posisi kita dan agar organisasi berjalan lancer kan? Untuk memenuhi hal ini terkadang ukuran –ukuran atau persyaratan dan prosedur tak perlu kita gunakan.

Nepotisme lebih memberikan rasa aman ketimbang kita memilih orang yang tak kita kenal track recodnya dan karakternya meski secara fit and proper test ia layak. Apalagi fit and proper test kan lebih mengarah pada hal – hal berkaitan dengan intelektual, sementara yang terkait karakteristik /kepribadian/behavior/moralitas sering terabaikan. Maka, nepotisme menjadi pilihan demi keberlangsungan eksistensi kita.

Soal  gratifikasi….saya percaya menjadi salah satu impian ketika orang – orang berjibaku merebut kekuasaan. Hasil gratifikasi jauh berlipat ganda ketimbang penghasilan/pendapatan resmi. Mana ada pejabat bisa kaya hanya lewat gaji? Mana ada wartawan atau guru bisa kaya tanpa gratifikasi luar biasa (faktanya emang wartawan n guru gak ada yang kaya ha ha ha…).

So, kalau kolusi, nepotisme, dan gratifikasi merebak tentu saja sangat dapat dimaklumi. Impian kita bisa terwujud, privilege bisa kita peroleh manakala jalur ini kita pilih. Persoalannya, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi hanya menguntungkan sebelah pihak (pelaku), tapi merugikan dan menyakitkan pihak lain. Dan jamak dipahami pihak lain ini jumlahnya jauuuuh lebih besar dari pihak pelaku.

Tak hanya itu, dengan melakukan kolusi, nepotisme, dan gratifikasi kita bukan saja membunuh kesempatan atau hak orang – orang yang terbaik untuk memiliki haknya menduduki suatu jabatan atau posisi atau tempat, juga melecehkan dan merusak system, serta membunuh kompetensi sehat  dan harapan indah banyak orang.

Bayangkan ada jutaan orang – orang terpinggirkan, orang – orang berpotensi tak dapat menjadi PNS, menjadi mahasiswa AKABRI/AKPOL, IPDN, kepala daerah hanya karena mereka tidak memiliki jaringan untuk kolusi, nepotisme, dan kemampuan memberikan gratifikasi.

Jutaan orang ini terpinggirkan dan posisinya digantikan oleh mereka yang belum tentu memiliki kemampuan, bahkan sebaliknya justru berkepribadian kotor. Pola-pola seperti ini tak saja mengkhianati  profesionalisme, juga tidak menghormati keberadaan institusi karena memberangus berbagai standar mutu--yang ditetapkan institusi--yang seharusnya diterapkan

Orang – orang yang lahir dalam pola – pola ini kelak ini dalam perjalanan karirnya kelak susah diharapkan menerapkan kepemimpinan yang sehat, keuangan yang bersih dan transparan, serta  system yang sehat karena secara moral  ia tak memiliki itu. Kalau pun ia mempunyai kesadaran  untuk itu, namun nafsunya dan ketidakberdayaannya lebih menguasai ketimbang kesadarannya untuk bersikap bersih. Dan orang – orang seperti ini cenderung korups. Mereka bukanlah the right man on the right place…

Maka, kita saksikan pemerintahan, kekuasaan, Negara yang dijalankan dengan konsep kolusi, nepotisme, gratifikasi, dan korupsi cenderung tidak membawa kebaikan, bahkan kehancuran. Maka, benarlah Islam ketika mengatakan apabila kamu memberikan suatu pekerjaan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya…..Subhanallah….

Itu sebabnya kita sepakat bahwa nepotisme, kolusi, korupsi, dan gratifikasi harus kita perangi bersama. Salah satu caranya adalah konsisten  dan disiplin dalam menjalankan system serta aturan. Semua berpegang pada dan dalam koridor itu.  Bermain dalam system akan dapat  menganulir rasa tak enak, rasa ewuh pakewuh.  Berat memang…bahkan tak  jarang harus mengeluarkan air mata terutama jika yang jadi korban atas konsistensi itu adalah orang – orang terdekat kita.   Tapi itu  harus kita lakukan jika kita ingin kebaikan.

Memang, dalam menegakkan aturan itu, pelakunya pasi akan memiliki musuh terutama oleh mereka yang dirugikan kepentingannya, tetapi yaknilah bahwa sejarah kelak mencatat system akan berjalan sehat dan lembaga menjadi berwibawa.

Seiring riuhnya wacana tentang meritokrasi, kita sangat berharap elit, khususnya Presiden SBY, mulai mempelopori, memberi keteladanan untuk menghapus KKN dan mengedepankan prinsip meritokrasi di semua system dan lini.

Jangan Frustasi

Lantas, bagaimana jika kita tidak berada dalam posisi memegang kendali kekuasaan? Haruskah kita frustasi? Hm…..yang bisa saya katakan adalah bahwa dalam situasi seperti ini, bekerja memerlukan sesuatu yang lebih mendasar  dari sekadar motif uang, kekuasaan, penghargaan, atau prestise. Apakah itu? ketika kita lahir, ada sesuatu yang kita bawa, dan kita

bertanggung jawab terhadap yang apa kita bawa itu. Bekerja adalah sebuah media  mewujudkan misi suci itu.Maka, bekerjalah sebagai ibadah dan jalan mengabdikan hidup kita pada-Nya. Komitmen ini menuntun kita tetap memiliki energi untuk bekerja, bahkan dalam situasi sangat menekan dan menyakitkan sekalipun.

Komitmen ini insya Allah menjadi benteng untuk melakukan hal-hal dilarang norma  dan agama, dan institusi pun terselamatkan karena moral menjadi sandaran dalam  lembaga di mana kita bernaung. Kita bersemangat. Jika pekerjaan tak lagi  memberi uang, jabatan, atau apresiasi yang kita inginkan, setidaknya Allah  telah mencatat setiap langkah kita dalam bekerja. Tuhan tak pernah tidur. Suatu ketika, kita pasti memetik apa yang kita tanam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun