Mohon tunggu...
hesa adrian
hesa adrian Mohon Tunggu... mahasiswa -

Make your sillences as a gold And make your words as a diamond Thats what makes man a man

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wujud Sejati Pendidikan

1 November 2010   13:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:55 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
potret pendidikan indonesia by ~MusiKeras

… Susan, susan, susan, kalau gede mau jadi apa?

Mau jadi dokter, biar bisa sembuhin orang…

potret pendidikan indonesia by ~MusiKeras

Penggalan kalimat diatas adalah potongan lagu anak – anak yang dipopulerkan oleh seorang perempuan bersama bonekanya (ventriloquist) yang dikenal dengan nama Susan dan sering diperdengarkan ketika penulis kanak – kanak. Lagu tersebut menceritakan seorang anak yang kaya dengan mimpi dan cita – cita, layaknya setiap anak pada umumnya. Namun sayang, untuk menggapai cita – citanya,  mereka harus melewati jalan terjal nan panjang sekaligus melelahkan yang biasa kita kenal dengan sekolah. Tidak berlebihan penulis rasa jika menggambarkan sekolah seperti itu, betapa tidak, itikad baik setiap anak yang termanifes dalam cita – citanya harus didapatkan dengan mengenyam bangku sekolah selama 12 tahun dengan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Dan itupun akan terasa hampa karena masih harus menjalani pendidikan tinggi yang selaras dengan biayanya yang juga tinggi untuk mendapatkan label sosial sesuai yang dicita – citakan. S.H. akan tersemat bagi mereka yang bercita – cita membela keadilan, SP.d. akan tersemat bagi mereka yang bercita – cita mengajar, Dr. akan tersemat bagi mereka yang ingin mengobati orang, dan sebagainya. Ini adalah bukti konkrit bahwa kampus sebagai bagian dari proses pendidikan telah menjelma menjadi lembaga label sosial. Pergeseran makna ini memang tidak dapat dilepas dari transfer ilmu pada saat zaman kolonial Belanda, dimana para bangsawan melaksanakan proses pendidikan dengan melalui lembaga yang terstruktur dan berjenjang. Tidak seperti nenek moyang kita yang tidak mengenal jenjang SD-SMP-SMA, tidak mengenal gelar pendidikan, tetapi tetap belajar! Belajar semua soal baik bertani ataupun berladang, mengenal alat – alat penting yang menunjang baik pacul ataupun penumbuk padi, dengan menjadikan setiap tempat menjadi sekolah dan menjadikan setiap orang menjadi guru. Kontras dengan keadaan Indonesia saat ini.

Pendidikan by ~clickyusho

Pendidikan di Indonesia saat ini sangat berstruktur hingga paham manajerial diterapkan didalamnya. Sangat panjang berjenjang hingga kita harus menghabiskan sebagian besar jatah hidup di dunia untuk di-didik. Hasilnya? Banyak sarjana hukum saat ini menjadi pedagang, banyak sarjana elektro yang menjadi teller bank, banyak sarjana pertanian yang menjadi badut politik di DPR, bahkan ada sarjana ekonomi yang menjadi tukang sapu. Miris. Bahkan sebagai tempat memberi label sosial, lembaga pendidikan telah gagal. Lembaga pendidikan gagal mencetak sumber daya manusia yang kredibel sesuai dibidangnya, dengan kata lain lembaga pendidikan telah mati. Sama seperti makhluk hidup yang jika tidak dapat melaksankan fungsinya sebagaimana makhluk hidup, akan dianggap mati. Kampus sebagai puncak dimana jenjang pendidikan tertuju, adalah sebuah titik akhir sekaligus titik awal. Titik akhir bagi jenjang panjang pendidikan dan titik awal bagi belantara dunia kerja. Hal ini memperlihatkan betapa kampus akan menjadi tempat sentral yang akan menentukan jutaan nasib para pengenyam bangku pendidikan yang akan memasuki dunia kerjanya masing – masing. Dan untuk mereduksi akibat dari fenomena pendidikan di Indonesia saat ini, kampus adalah tempat yang tepat untuk diperbaiki proses pendidikannya, dan diharapkan pula sebagai inspirator bagi berbagai jenjang pendidikan sebelumnya. Lalu setelah mengetahui nasib pendidikan saat ini, akan dibutuhkan sebuah penggerak yang tidak lain harus berupa sumber daya manusia. Mahasiswa, penulis rasa adalah pihak yang paling tepat untuk menggagasnya, mengingat berbagai julukan yang diberikan masyarakat kepada para mahasiswa seperti ironstock, agent of change, dan social control. Oleh karena itu dengan mahasiswa didalamnya, dibutuhkan sebuah konsep pendidikan yang dapat mengimbangi proses pendidikan yang menjemukan.

Wajah Anak SMA Sekarang by ~pandaautis

Tahun 1923 diawali dengan munculnya kelompok studi Indonesische Vereeningning yang berisi para mahasiswa yang kecewa dengan keadaan tanah air, hingga menjelang masa kemerdekaan banyak menjamur kelompok – kelompok studi serupa yang menjadi wadah mahasiswa dan pelajar. Dengan konteks serupa namun tidak sama, penulis rasa inilah hal yang paling dibutuhkan dan perlu dikembangkan di dunia kampus, sebuah kelompok studi yang akan menjadi penggerak intelektualitas dan bersifat dinamis. Mahasiswa memegang pernanan penting disitu, karena berperan sebagai objek dan subjek. Seperti yang sudah disinggung diawal, ini akan mengembalikan suasana pendidikan nenek moyang dahulu yang menjadikan semua orang guru dan semua tempat sekolah. Dengan begitu tidak hanya dijejalkan dengan teori – teori, mahasiswa akan belajar banyak hal terutama yang menyangkut keadaan sosial di negeri ini. Paling tidak dengan adanya kelompok studi seperti ini akan menghasilkan intelektual – intelektual organik di bidangnya masing – masing. Konsep ini justru adalah cikal bakal dikenalnya sekolah di dunia ini, karena sekolah yang berasal dari kata skhole, scola, scolae, schola (latin) yang secara harafiah berarti waktu senggang atau waktu luang. Kenapa kita menyebut lembaga pendidikan sebagai waktu senggang? Karena orang Yunani dulu mengisi waktu luang mereka mengunjungi suatu tempat atau seorang cendikiawan untuk menanyakan dan mempelajari hal – hal yang mereka anggap perlu, dan mereka menyebut hal ini dengan kata scola. Konsep kelompok studi akan menjadi sangat mirip dengan kebiasaan tersebut, karena itu adalah tempat mahasiswa sebagai cendikiawan yang  berkumpul saling bertanya dan saling menjelaskan berbagai hal di waktu luang rutinitas di kampus. Itulah sejatinya pendidikan. Berbagai komunitas di kampus saat ini sebagian sudah menggunakan konsep kelompok studi ini, namun masih sangat minim jumlahnya. Hal ini membuktikan bahwa kelompok studi bukanlah sebuah hal yang utopis dan sulit direalisasikan. Mari kembalikan fungsi laten dari pendidikan. Dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk pendidikan Indonesia. http://hesadrian.wordpress.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun